PELAJARAN LUHUR DARI BOROBUDUR YANG TERLUPAKAN

 

300px-borobudur_scenery_1

The INDEPENDEN’S – Weblog – HARIAN Kompas 21 November 2006 memberitakan bahwa Borobudur terlempar keluar dari Nominee 7 Keajaiban Dunia berdasarkan polling terakhir. Ironisnya, Angkor Wat justru masuk dalam daftar padahal situs di Kamboja itu para arsiteknya merupakan orang-orang yang pernah membangun Borobudur.

 Borobudur sesungguhnya merupakan buku pelajaran raksasa bagi bangsa Indonesia yang terbuat dari batu. Jauh sebelum bangsa Amerika memiliki toko buku Barnes & Noble maupun situs penjualan buku Amazon. com di Internet pada abad ke-20, bangsa Indonesia sudah memiliki “gerai buku raksasa” yang pantas dibanggakan pada abad ke-9 Masehi. Sungguh sayang rasanya bila kita tidak mampu memetik pelajaran berharga yang terkandung di dalamnya.

 Apalagi, hanya memandang Borobudur sebagai obyek rekreasi serta lokasi komersial untuk menjual cindera mata, kaus, topi maupun makanan jajanan semata. Setelah sempat eksis selama beberapa abad, hampir selama berabad-abad berikutnya “buku pelajaran raksasa” itu terlupakan. Borobudur tersia-sia menjadi onggokan gunung batu penuh timbunan tanah dan ditumbuhi semak belukar.

 Beruntung Sir Thomas Stanford Raffles yang menjadi Walinegara di Indonesia ketika negeri ini dikuasai Inggris selama kurun 1811-1816 memiliki kepedulian terhadap sejarah dan arkeologi. Pada tahun 1814, Raffles menerima laporan bahwa ada peninggalan purbakala di desa Bumisegoro bernama Borobudur. Raffles kemudian mengutus seorang Belanda yang berpengalaman dalam masalah percandian bernama Cornelius. Dengan mempekerjakan 200 orang desa, Cornelius membersihkan semak belukar beserta tanah yang selama berabad-abad menutupinya. Laporan kerja Cornelius menjadi salah satu bahan penting bagi Raffles yang kemudian dimasukkannya dalam buku “History of Java” yang diterbitkan tahun 1817.

 Berkat uraian buku tersebut keberadaan Borobudur memperoleh perhatian luas di kalangan ilmuwan dan arkeolog di manca negara. Pada tahun 1885, Borobudur menjadi perhatian publik dunia ketika seorang perwira zeni Belanda bernama J.W. Ijzerman menemukan adanya relief di bagian kaki candi berupa fragmen Mahakarmawibangga yang menggambarkan hukum sebab akibat (karma).

 Pekerjaan besar pemugaran selanjutnya dilakukan Theodor Van Erp, seorang perwira Zeni KNIL, dibantu seorang arkeolog J. Brandes dan seorang insinyur B.W. van de Kramer antara 1907 dan 1911. Namun kerusakan demi kerusakan tetap mencemaskan. Dalam waktu 16 tahun sudah terdapat 40 bidang relief dari 120 yang menggambarkan adegan “Lalitawistara” sudah mengalami kerusakan berat. Demikian pula bagian-bagian lainnya sehingga pemugaran yang bersifat tambal sulam tidak berguna untuk menyelamatkan monumen tersebut. Yang dibutuhkan Borobudur adalah pemugaran menyeluruh. Akhirnya, pada 29 Januari 1973 badan PBB urusan pendidikan dan kebudayaan (UNESCO) bersedia menyediakan dana serta memulai pemugaran. Proyek pemugaran selesai sepuluh tahun kemudian pada 23 Februari 1983.

 Mengapa Borobudur dapat disebut sebagai buku pelajaran raksasa yang terbuat dari batu? Hal itu wajar mengingat begitu banyaknya gambar timbul di dinding atau relief sejumlah 166 relief di bagian Kamadhatu pada batu seberat 13.000 meter kubik itu. Kemudian di bagian Rupadhatu terdapat empat galeri dengan 1300 relief dengan panjang seluruhnya sekitar 2,5 kilometer yang dikelilingi sekitar 1212 panel berdekorasi indah.

 Sementara itu, di bagian Arupadhatu terdapat 72 stupa yang berterawang dengan lubang-lubang berbentuk segi empat. Sedangkan, pada bagian paling atas atau Sunyata hanya terdapat sebuah stupa yang tertutup rapat.

 Dari bagian-bagian Borobudur itu sebenarnya kita dapat memahami bahwa hidup manusia berada pada empat level keberadaan. Banyak para ahli yang memetakan kosmologi yang ada di Borobudur seperti kosmologi India yang membagi menjadi tiga dunia. Padahal, sesungguhnya Borobudur memuat mengenai empat dunia.

 Dunia pertama terletak di dasar paling bawah yakni Kamadhatu atau dunia hawa nafsu dan sifat-sifat jahat (plane of passion and lust). Pada tingkatan ini manusia terikat dan dikuasai hawa nafsu dan sifat-sifat jahat. Oleh karena itu, untuk mengendalikannya biasanya diperlukan aturan atau hukum-hukum yang keras.

 Dunia kedua disebut Rupadhatu (plane of image and forms) pada level ini manusia telah dapat menguasai hawa nafsunya tetapi masih terikat pada bentuk dan rupa. Manusia pada tingkatan ini masih mengejar status dan kekayaan karena mereka amat menghargai bentuk, rupa, wujud seperti kecantikan, ketampanan, kekayaan, kemegahan dan sebagainya.

 Dunia ketiga adalah Arupadhatu (plane of non form) atau dunia tanpa bentuk. Di sini manusia sudah tidak lagi mementingkan lagi pada bentuk dan rupa. Manusia di level ini sudah menyadari hakikat hidup sesungguhnya.

 Sedangkan, dunia keempat disebut Sunyata (The True Existence, Absolution) merupakan tingkatan yang tertinggi yang tak mampu lagi dijangkau dengan nalar karena telah mencapai Makrifat Tuhan. Manusia di level ini telah bebas lepas sama sekali dan memutuskan untuk selama-lamanya ikatan duniawi.

Oleh karena itu, perwujudannya berupa stupa yang sama sekali tertutup, tidak berterawang lagi seperti yang terdapat di bagian Arupadhatu.

 Sepintas lalu keempat tingkatan tadi mengingatkan kita pada hirarki pemahaman agama dalam tradisi Islam yakni Syariat (tahapan pengendalian nafsu-nafsu dengan menerapkan aturan-aturan yang ketat), Tarikat, Hakikat dan Makrifat. Jadi, sesungguhnya Borobudur pun dapat dimaknai secara lebih universal dan bersifat lintas agama.

Bagi pemeluk agama Nasrani, peristiwa penyaliban Yesus sesungguhnya dapat pula dimaknai sebagai transformasi dari tahapan tanpa bentuk menuju tahapan kasunyatan (Absolution) .

Menurut Borobudur manusia akan berkembang menuju kesadaran yang lebih tinggi, dari terendah yang masih dikuasai hawa nafsu hingga mencapai taraf pembebasan dari ikatan duniawi. Menggunakan matriks Borobudur kira-kira kita dapat memperkirakan di mana keberadaan umat manusia saat ini.

Sebagian besar masyarakat dunia saat ini berada di level Rupadhatu karena umumnya masih mengejar status dan kekayaan, tetapi tidak sedikit pula yang masih di level Kamadhatu karena masih dikuasai hawa nafsu serta sifat-sifat jahat seperti korup, serakah, selingkuh, iri, loba , aniaya dan sebagainya.  

Nah, di mana kira-kira letak bangsa Indonesia sekarang ini dalam konteks matriks Borobudur tersebut? Melihat prestasi bangsa Indonesia paling mutakhir sebagai bangsa paling korup di Asia, anggota perlemennya suka berkelahi, aparat penegak hukumnya menyeleweng serta negerinya rawan kerusuhan, ledakan bom dan berbagai bencana alam, tampaknya kita masih belum beranjak dari tingkat paling dasar, yaitu Kamadhatu.

Semua itu, karena karena kita telah melupakan bahkan sama sekali tidak mempedulikan pelajaran luhur yang terkandung dalam Borobodur. Sebuah buku pelajaran raksasa bagi bangsa Indonesia yang terbuat dari batu dan sudah berdiri lebih dari duabelas abad yang lalu.  

Andai saja bangsa Indonesia bersedia untuk belajar, menghayati dan mengamalkan pelajaran luhur yang diwariskan Borobudur maka ketika bangsa ini merayakan ulang tahun kemerdekaan yang ke-60 pada tanggal 17 Agustus 2005, Indonesia sudah mencapai tahap adil, makmur dan sejahtera.

Tetapi, karena mengabaikan warisan luhur yang terkandung dalam Borobudur itu, maka yang dialami bangsa ini justru meningkatnya angka kemiskinan disertai himpitan utang luar negeri yang luar biasa besar.  

Kekayaan alam, flora dan fauna dijarah habis-habisan. Pasir laut yang dijual secara ilegal ke Singapura menembus angka Rp 72 triliun, pembalakan liar di Kalimantan dan Papua diperkirakan sekitar Rp 30 triliun, penyelundupan satwa langka sebesar Rp 100 triliun, ikan yang dicuri dari laut Indonesia mencapai Rp 36 triliun dan penyelundupan Bahan Bakar Minyak (BBM) paling sedikit Rp 50 triliun. Aparat penegak hukum yang seharusnya ikut menjaga praktik pencurian dan perampokan itu tidak berdaya akibat minimnya sarana. Selain itu, tidak sedikit kalangan petinggi mereka yang ternyata ikut bermain.

Sudah begitu, berbagai bencana dan musibah datang silih berganti dan bertubi-tubi mulai dari banjir, tanah longsor, gempa bumi hingga tsunami. Tidak ketinggalan busung lapar, polio dan wabah flu burung ikut merebak. Kelangkaan BBM yang diikuti krisis listrik PLN mulai dimana-mana sehingga membuat kehidupan berbangsa dan bernegara semakin tidak nyaman.

Indonesia bukannya menjadi bangsa terhormat namun cenderung menjadi bangsa paria di tengah masyarakat dunia. Sebagai sebuah negara pun Indonesia sudah mengarah menjadi negara gagal (failure state).

Mengapa semua hal itu dapat terjadi? Selain akibat gagal melakukan pembelajaran yang benar dari warisan luhur yang terkandung di Borobudur, segala tragedi itu sesungguhnya merupakan akumulasi dari tidak seriusnya bangsa ini menangani semua praktik korupsi yang terjadi sejak zaman Orde Baru (1967-1998). Akibatnya, ketika muncul reformasi 1998 korupsi malahan semakin merajalela dan terjadi di semua tingkatan masyarakat.

Tidak mengherankan bila Indonesia pada tahun 2005 menuai prestasi sebagai negara paling korup peringkat ke -137 dengan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) sebesar 2,2 di 158 negara di dunia yang diteliti Transparency International. Angka itu sedikit lebih baik bila dibandingkan IPK Indonesia tahun 2004 yang sebesar 2,0. Dengan raihan angka tersebut maka posisi Indonesia hanya sedikit lebih baik dibandingkan negara-negara paling korup dunia seperti Angola, Republik Demokratik Kongo, Pantai Gading, Georgia, Tajikistan, Turkmenistan, Nigeria, Kamerun, Bangladesh, Haiti dan Chad. ***