PROBLEMATIKA PENDIDIKAN TINGGI

Oleh : Zaldy Munir

PENDIDIKAN adalah hal yang tidak dapat dipisahkan dari siklus kehidupan manusia, sebuah fitrah dari makhluk yang dianugrahi akal dan pikiran. Proses pendidikan berjalan sejak dalam kandungan sampai keliang lahat (baca: meninggal dunia). Pendidikan bisa didapat dimana saja dan kapan saja. Proses pendidikan yang paling efektif adalah melalui pendidikan formal. Dimana sekolah merupakan perwujudan nyata pendidikan yang dilakukan secara berjenjang atas dasar sistem dan kebijakan tertentu.

Jejang pendidikan formal pasca sekolah lanjut atas adalah Perguruan Tinggi. Dimana pendidikan diklarifikasikan berdasarkan konsentrasi bidang keilmuan tertentu. Maka tidaklah mengherankan jika perguruan Tinggi menjadi pusat perubahan dan pengembangan ilmu pengetahuan, dimanapun di dunia itu. Itulah salah satu peran dan fungsi Perguruan Tinggi.

Dengan menyandang peran yang sangat penting tersebut sudah barang tentu Perguruan Tinggi harus menyediakan Sumber Daya Manusia (SDM) yang siap menajdi troble shooter dalam kehidupan di masyarakat. Sekaligus mempu menjawab segala bentuk tantangan selaras dengan kepentingan rakyat banyak. Peran agen of chenge dapat dijadikan alternatif parameter berdasarkan idiologi Perguruan Tinggi atau lebih dikenal dengan Tri Darma Perguruan Tinggi yang meliputi pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.

Mahasiswa dan kampus adalah entitas yang tidak dapat dipisahkan dari dunia Pergurna Tinggi. Kampus adalah dunia yang sangat dekat dengan mahasiswa, dimana tidak hanya dihuni oleh mahasiswa, tapi juga dosen, petugas kebersihan, satpam, pegawai administrasi, serta para biokrat yang sangat berperan dalam pengambilan keputusan. Oleh sebab itu, diperlukannya kesetaraan dengan ditunjang sistem baik pendidikan maupun administrasi.

Namun hal tersebut bukanlah tanpa kendala. Dimana kecendrungan sistem dan kurikulum pendidikan kita masih jauh dari nilai-nilai jati diri bangsa. Kenyataan saat ini lebih menunjukan pada gerak industrialisasi dengan semakin berkembangnya sistem kapitalis.

Dibandingkan dengan pemberdayaan sumber daya alam, agraris dan maritim. Ironisnya lagi tidak ditemukan adanya singkronisasi. Padahal, ilmu pengetahuan bukan hanya mempertahankan kebenaran objektif semata, tapi juga harus disesuaikan dengan nilai-nilai sosial, ekonomi, budaya dan agama yang representatif dalam masyarakat bangsa ini.

Hal ini menyebabkan, kampus yang seharusnya menjadi komunitas ilmiah justru berbalik menjadi sebuah lembaga yang jauh dari agenda kerakyatan. Sistem yang berlaku di Perguruan Tinggi saat ini tidak lebih dari layaknya sebuah pabrik, sebagai pridusen bagi tenaga kerja. Pendidikan yang seharusnya menjadi tranformasi nilai-nilai moral yang humanis-religius malah mentaransformasikan nilai-nilai mesin yang mekanistis, sehingga menjadikan manusia yang oportuni, berpikir jangka pendek, dan materelistis.

Sejauh pengalaman yang pernah ada, Perguraun Tinggi (baik negeri maupun swasta) masih dominan berdiri di alam lain yang justeru kontra produktif dengan kepentingan rakyak. Kenyataan seperti senada dengan kritikan Ivan Illick dan Paulo Freire terhadap dunia pendidikan di negara berkembang yang justeru tidak menghasilkan apa-apa. Perguruan Tinggi belum menemukan urgensi-nya dalam menyediakan produk unggulan dalam negeri, yaitu mahasiswa.

Melihat permasalahan yang ada maka langkah-langkah yang efektif dan konferhensif dengan didukung oleh seluruh civitas akademik. Perlu adanya perubahan paradigma secara struktural maupun kultural tentang esensi pendidikan. Institusi perguraun tinggi harus sadar betul bahwa peningkatan sarana dan prasarana sangatlah penting bagi tercapainya tujuan pendidikan, serta semaksimal mungkin pada usahanya menyelenggarakan proses belajar mengajarkan. Tentunya orientasi studinya terfokus pada pamahaman dan pengembangan ilmiah.

Pada umumnya Perguraun Tinggi swasta lebih cendrung meningkatkan kualitasnya pada bidang penyelenggaraan pendidikan dalam meraih kepercayaan pada masyarakat akan keberhasilan program-program pendidikan. Penguasaan kondisi lingkungan dalam proses belajar mengajar akan menajdi motivator pada tingglkat lingkungan kampus. Dan kuatnya motivator perguaran tinggi akan menjadi katalisator budaya mayarakat diwilayahnya.

Hanya terkadang ada beberapa Perguran Tinggi yang mengabaikan, terutama kampus-kampus non-favorit. Sarana dan prasarana infratruktur tidak dikelola dengan baik, tentunya dengan beragam faktor yang mempengaruhinya. Terutama disebabkan rendahnya biaya pendidikan dan jumlah mahasiswa. Hal ini akan semakin parah jika pemegang kebijakan institusi Pendidikan Tinggi tersebut lebih berorienrasi materialistik jangka pendek. Akibatnya kondisi kampus dibiarkan ala kadarnya.

Penguasaan dan pemanfaatan teknologi dalam lingkup perguran Tinggi adalah hal yang tidak kalah penting. Selama ini kita meyakini bahwa penguasaan teknologi merupakan jawaban dari ketertinggalan yang dialami bangsa ini terhadap bangsa lain. Pemanfaatan teknologi komputerisasi di Perguran Tinggi akan memungkinkan keteraturan administrasi sekaligus dapat mengontrol manajemen kampus dengan mudah. Dengan pengusaan teknologi diharapkan mahasiswa dapat memperoleh kemudahan administratif dan dalam mengakses ilmu pengetahuan sehingga proses pencerdasan dapat berjalan secara cepat. Pendidikan berbasis teknologi nampak seperti satu-satunya jawaban yang dibutuhkan.

Jika itu dapat terlaksana maka institusi Pendidikan Tinggi harus menghargai sisi profesionalisme pendidik. Artinya, bahwa kesejahteraan pendidik dan karyawan adalah keniscayaan akan kretivitas, mobilitas serta yang meniscayakan perubahan secara fundamental yang akan terus maju ke depan dan tidak lagi resah akan dapurnya. Dan pasrah pada “ritualitas pembodohan” yang dia tahu, namun tidak dapat berkutik dirinya. Inilah yang harus terngiang ditelinga “founding education”, sehingga survive tidak ada lagi di kepala dan dada, namun semangat dan peluang-peluang penyadaran akan urat nadi bangsa ini tertelak di dalam forum yang disebut dengan pendidian harus dapat diterjemahkan secara holistik dan revesioner. Sebab jika hal ini dibiarkan akan sangat rentan terhadap godaan-godaan duniawi yang sama artinya memberi ruang bagi KKN untuk tumbuh subur dalam institusi Pendidikan Tinggi.

Secara kultural, para pendidik hendaknya memposisikan dirinya sebagai fasilisator yang bersikap prural dan demokratis, memberikan ruang usaha berpikir kritis dan memahami sampai menimbulkan sikap tanggung jawab mahasiswa akan keberadaan dirinya dan lingkungannya. Bukan malah memberi stigma negatif pada mahasiswa yang dianggap bersebrangan dengan alur berpikir dosen, terlebih biokrat kampus. Pembatasan pada aktivitas yang bernuasan politis seringakli dilakukan, hal ini tidak lebih untuk mengubur potensi kritis yang ada pada diri mahasiswa. Sedangkan untuk acara yang bersifat hura-hura, seperti pegalaran musik atau jenis entertainment malah digalakan. Ini sama saja dengan mengilusi kesadaran akan peran dan fungsi mahasiswa di tengah-tengah masyarakat yang membutuhkannya.

Patut diingat hilanganya kretivitas dan munculnya ketidakmapuan pendidik hakikatnya ada pada persoalan struktural di atas. Sikap plural, demokratis dan partisiipatoris pendidik secara kultural adalah dengan melakukan pembacaan dan perenungan kembali terhadap ranah ontologis, epistemalogis, dan aksiologis dan hakikat pendidikan itu sendiri. Dan hal ini hanya terjadi jika persoalan struktural di atas telah terlampaui. Sebab, pendidik saat ini tidak lebih baik dan lebih problematis terhadap tekanan realitas hidup yang telah lama tidak memihaknya, ketimbang mahasiswa itu sendiri. Jangan-jangan pencerahan dan pembentukan karakter yang dewasa ini sesuai dengan tujuan pendidikan itu sendiri, alih-alih seperti sekarang malah menciptakan humanity complex bagaimana tidak, lingkungan sudah out of control, dosen dan staff administrasi gontai antara idelisme dan prakmatisme, otomatis mahasiswa hanyalah limbah dari ketiga kompleksitas hidup dalam complex reality.■