ISLAM DAN KEBUDAYAAN ARAB PRA ISLAM (sebuah refleksi)

Oleh : Zaldy Munir

Pendahuluan

Setiap Negara atau masyarakat pasti mememiliki kebudayaan atau budaya yang sifatnya mutlak atau tidak mutlak. Dan kebudayaa itu memiliki unsur-unsur besar dan unsur-unsur kecil yang merupakan bagian dari satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Kebudayaan mempunyai pengaruh yang sangat besar bagi manusia dan masyarakat. Berbagai kekuatan yang dihadapi manusia seperti kekuatan alam dan kekuatan lainnya tidak selalu baik baginya,

Dalam literatur antropologi terdapat tiga istilah yang boleh jadi semakna dengan kebudayaan, yaitu culture, civilization, dan kebudayaan.Term kultur berasal dari bahasa latin, yaitu dari kata cultura (kata kerjanya colo, colere). Arti kultur adalah memelihara, mengerjakan atau mengelola (S. Takdir Alisyahbana, 1986: 205). Soerjono Soekanto (1993: 188) mengugkapkan hal yang sama. Namun ia, menjelaskan lebih jauh bahwa yang dimaksud dengan mengelola atau mengerjakan sebagai arti kultur mengelola atau bertani. Atas dasar arti yang dikandungnya, kebudayaan kemudian dimaknai sebagai segala daya dan kegiatan manusia untuk mengelola dan mengubah alam.

Istilah kedua yang semakna atau hampir sama dengan kebudayaan adalah silivilisasi. Silivilisasi (civilization) berasal dari kata latin, yaitu civis. Arti kata civis adalah warga negara (civitas = negara kota, dan civilitas = kewarganegaraan). Oleh karaena itu, S.Takdis Alisyahbana (1986: 206) menjelaskan bahwa sivilisasi berhubungan dengan kehidupan kota yang lebih progresif dan lebih halus. Dalam bahasa Indonesia, peradaban dianggap sepadan dengan kata cilivization.

Pembahasan

A. Wilayah Arab

Negara Arab saudi yang kita kenal sekarang secara georafis terletak di semenanjung Arabia. Sebelah Utara berbatasan dengan Yordania, Irak, dan Kuwait. Sebelah Timur berbatasan dengan Teluk Persia, Bahrain dan Uni Emirat Arab. Sebelah selatan berbatasan dengan Oman dan Yaman. Sebelah barat berbatasan dengan laut merah dan teluk Aqoba. Penduduk: kurang lebih 12.678.000. Ibu kota: Riyadh, Bentuk negara: Monarki, Bahasa resmi: Arab, Agama: Islam dan Mata uang: riyal.

Arabia merupakan wilayah padang pasir yang terletak di bagian barat Asia. Ia merupakan padang pasir terluas dan tergersang di dunia. Luas wilayahnya 120.000 mil persegi yang berpenduduk rata-rata 5 jiwa setiap mil persegi. Arabia merupakan wilayah strategis  dalam peta zaman kuno, ketika benua Australia dan Amerika belum dikenal orang, karena letaknya berada pada posisi pertemuan ketiga benua : Asia, Eropa dan Afrika. Wilayah bagian utara, Arabia berbatasan dengan lembah gurun syria, sebelah timur berbatasan dengan lembah gurun persia, sedangkan bagian barat berbatasan dengan laut merah. Karena dikelilingi laut pada sisinya, maka wilayah ini dikenal sebagai “jazirah Arabia” (kepulauan Arabia).

Wilayah Arabi terbagi menjadi beberapa propinsi, seperti propinsi Hijaz, Najd, Yaman, Hadramaut, dan Uman. Semua propinsi tersebut menempati posisi yang sangat penting dalam lintas sejarah Islam. Makkah, Madinah, dan Thaif merupakan tiga kota besar di propinsi Hijaz. Bagian utara Arabia merupakan wilayah tandus. Sepertiga lebih luas dari wilayah ini berupa padang pasir. Wilayah padang pasir yang terbesar adalah ad-Dahna yang terletah di pertengahan wilayah utara. Adapun bagian selatan Arabia merupakan wilayah subur yang padat pendudknya. Mata pencaharian mereka adalah bertani dan berdagang. Hidramaun dan Yaman merupakan wilayah tersubur di Arabi Selatan.

B. Kepercayaan Masyarakat Arab Pra-Islam

Terhadap beberapa agama dan kepercayaan yang dianut masyarakat Arab sebelum agama Islam lahir. Bangsa Arab Qahthan (kaum saba) di Yaman, misalnya, mereka menganut kepercayaan atau agama Ash-Shabiah, yaitu suatu kepercayan yang berkembang di kalangan masyarakat Qahthan tentang adanya kekuatan pada bintang-bintang dan matahari sebagai kekuatan maha pencipta. Mereka menganggap bintang dan matahari sebagai tuhan. Tetapi setelah hancurnya bendungan Ma’rib, masyarakat saba yang bermukim di Yaman terpencar, dan mereka mencari tempat tinggal baru di jazirah Arab, maka terjadilah dalam perubahan pola dan sikap kepercayaan mereka.

Bagi mereka yang masih tinggal di Yaman, kepercayaan Ash-Shabiah terus dianut. Tetapi kemudian karena mereka mendapat seruan dari para rahib Yahudi yang datang dari Yatsrib (madinah) agama Yahudi dijadikan sebagai agama baru. Salah seorang pimpinan mereka yang pertama kali menerima agama itu adalah Yusuf Zu Nuas. Kemudian mereka pindah ke Arabia Utara Ghassanah menganut agama Nasrani (Kristen), karena mereka berdekatan dengan bangsa Romawi yang beragama Kristen, begitu juga yang pindah ke Manazirah (Mesopotamia).

Di antara penduduk Najran ada yang beragama Kristen, karena negara itu sudah di kunjungi oleh kaum missionaris Kristen yang diutus oleh kaisar Romawi pada tahun 343 M. Di antara suku Aus dan Khazrah yang pindah ke Yasrib setelah hancurnya bendungan Ma’rib, ada yang menganut agama Yahudi, karena di kota itu mereka berdekatan dengan kaum Yahudi Khaibar, Bani Quraizhah, dan Bani Nadhir.

Di samping adanya kepercayaan dan penyembahan berhala yang dilakukan masyarakat Arab pra-Islam, terdapat kepercayaan lain yang mereka anut seperti :

1. Menyembah Malaikat. Sebagian di antara masyarakat Arab Jahiliyyah ada yang menyembah dan menuhankan Malaikat. Bahkan ada yang beranggapan bahwa Malaikat itu putra Tuhan.

2. Menyembah Jin, ruh atau hantu. Sebagian lagi ada yang menyembah jin, hantu, dan ruh leluhr mereka. Bahkan ada suatu tempat jin yang terkenal dengan nama Darahim. Mereka selalu mengorbankan binatang seperti sesajen, agar terhindar dari bencana.

Pada saat menjelang kelahiran agama Islam, tumbuh sekelompok orang dari kalangan masyarakat Arab yang berusaha ingin melepaskan bangsanya dari kepercayaan yang sesat, dan berusaha mengembalikan kepercayaan agama tauhid (monoteisme) yang di ajarkan Nabi Ibrahim A.S, Mereka adalah Waraqah bin Naufal, Umayah bin Abi Shalt, Qus Saidah, Utsman bin Khuwairis Abdullah bin Jahsy, dan Zainal bin Umar.

C. Kondisi dan Moral Arab Pra-Islam

Pada umumnya bangsa Arab sebelum Islam datang (diutusnya Nabi Muhammad) tidak memeluk agama tertentu, kecuali penyembahan berhala. Berhala yang paling dikenal adalah Manata, Lata, dan Uzza. Tradisi lain, mereka berkumpul setahun sekali setiap bulan zulhijjah dengan mengelilingi Ka’bah dan menyembelihan hewan kurban yang darahnya dipersembahkan untuk Tuhan. Dalam aspek peradaban Arab golongan Qahtaniyun pernah mendirikan kerajaan Saba’ dan Himyar di Yaman. Kerajaan ini mampu membangun bendungan raksasa yang menjadi sumber air untuk seluruh wilayah kerajaan. Di Mekkah sebelum Islam datang, telah terdapat jabatan-jabatan penting yang dipimpim oleh Qushai bin Qilab pada pertengahan abad ke-V M. Ketika itu suku Quraisy mendominasi masyarakat Arab. Maka dibentuklah jabatan suku Quraisy, yaitu Hijabah: penjaga kunci Ka’bah, Siqayah: pengawas mata air zam-zam untuk para peziarah, Diyat: Kekuasaan hakim sipil dan kriminal, Sifarah: kuasa usaha negara atau duta, Liwa: jabatan ketentaraan, Rifadah: pengurus pajak untuk orang miskin, Nadwah: jabatan ketua dewan, Khaimmah: pengurus balai musyawarah, Khazinah: jabatan keuangan, dan Zalam: penjaga panah peramal untuk mengetahui pendapat dewa-dewa.

Masyarakat Arab Pra-Islam sesungguhnya memiliki berbagai sifat dan karakter yang positif, seperti sifat pemberani, kekuatan fisik yang perima, daya ingatan yang kuat, kesadaran akan harga diri dan martabat, cinta kebebasan, setia tehadap suku dan pemimpinnya, pola kehidupan sederhana, ramah-tamah, dan mahir dalam bersyair. Namun sifat-sifat dan karakter yang baik tersebut seakan tidak ada artinya karena suatu kondisi yang menyelimuti mereka, yakni ketidak adilan, kesejahteraan terhadap tahayul.

Pada masa itu, kaum wanita menempati kedudukan yang rendah sepanajang sejarah umat manusia. Masyarakat Arab Pra-Islam memandang wanita ibarat binatang piaraan, atau bahkan lebih hina. Mereka sama sekali tidak mendapat penghormatan sosial dan tidak memiliki hak apapun. Kaum laki-laki dapat saja mengawini wanita sesuka hatinya. Bila mana seorang ayah diberitahukan atas kelahiran seorang anak perempuan, seketika wajahnya berubah pasi lantaran malu, terkadang meraka tega menguburkan bayi perempuan mereka hidup-hidup. Mereka membunuhnya lantaran rasa malu dan khawatir bahwa anak perempuan hanya akan menimbulakan kemiskinan. Kondisi semacam ini dinyatakan oleh Al Quran sebagai berikut :

Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah.

Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu. (Al-Nahl (16) : 58-59)

Pada masa itu, tidak hanya poligami yang berkembang di kalangan masyarakat Arab Jahiliah, tetapi juga praktek poliandri. Seorang laki-laki di samping mempunyai banyak istri, mereka juga memiliki sejumlah gundik. Suami seringkali mengijinkan istrinya “bargaul” dengan laki-laki lain untuk menambah penghasilan. Wanita-wanita lajang biasanya pergi ke luar kota untuk menjalin pergaulan bebas dengan pemuda kampung. Seorang ibu tiri bisa saja dikawini oleh anaknya dan bahkan sering terjadi perkawain sesama saudara sekandung. Pada saat itu perempuan tidak memiliki hak warisan terhadap kekayaan almarhum ayah dan suaminya, atau kerabatnya. Demikianlah, sungguh rendah dan hina kedudukan wanita sebelum Nabi Muhammad lahir. Nabi berjuang untuk mengentaskan jurang kehinaan wanita kepada keduduak yang mulia dan terhormat.

D. Hukum Yang Belaku sebelum Islam

Sebelum datang istilah yang dikenal untuk sebutan hukum orang Arab, yaitu hukum jahiliyah. Jahiliyah secara bahasa artinya: kebodohan, kejam, marah atau berlebihan dalam menilai sesuatu. Pengertian sesuai dengan keadaan bangsa Arab sebelum Islam datang di mana fatrah (kevakuman) antara Nabi Isa as kepada Nabi Muhammad saw. Ketika itu sering terjadi perlakuan kejam, perbuatan yang berlebihan, seperti sikap congkak, pemujaan berhala, peperangan antar suku karena persoalan sepele, mengubur bayi perempuan hudup-hidup dan sebagainya. (Ensiklopedia Indonesia Juz: 3, h. 1526).

Hamka berpendapat, hukum jahiliyah juga diistilahkan sekarang dengan hukum rimba, yaitu menegakkan yang salah dan mengalahkan yang benar. Hukum bukan berdasarkan kepada kedilan, tetapi kepada kekuatan. Siapa yang kuat dialah yang dimenangkan meskipun dipihak yang salah. Yang lemah dikalahkan meskipun berada di pihak benar. Hukum jahilliyah dalam prakteknya sangat dipengaruhi oleh kedudukan. Orang Yahudi mau masuk Islam jika mereka dimenangkan. Di zaman jahiliyah sangatlah tepat kalau praktek hukumnya dikatakan memakai hukum rimba, sebab tidak ada perlindungan dari yang kuat terhadap yang lemah. Hal ini mengakibatkan seringnya perang antar suku. (Hamka, tafsi al-Azhar : 272).

Berikut ini kita akan melihat praktek hukum yang lainnya yang disebut di atas yang dilakukan oleh orang jahiliyah sebelum Islam. Dan semua hukum  tersebut direform oleh Islam menjadi hukum yang Islami.

1. Dalam Perkawinan

Sebelum Islam datang orang-orang Arab melakukan praktek hubungan sex dengan cara binatang yang menjijikan. Pada zaman jahiliyah telah dikenal beberapa praktek perkawinan yang merupakan warisan turun-temurun dari perkawinan Romawi dan Persia. Pertama, perkawinan pacaran (khidn), yaitu berupa pergaulan bebas pria dan wanita sebelum perkawinan yang resmi dilangsungkan yang tujuannya untuk mengetahui kepribadian masing-masing pasangan. Kedua, nikah (badl), yaitu seorang suami minta kepada laki-laki lain untuk saling menukar istrinya. Ketiga, nikah (istibdha), yaitu seorang suami minta kepada laki-laki kaya, bangsawan atau yang pandai agar bersedia mengumpuli istrinya yang dalam keadaan suci sampai hamil. Setelah itu baru si suami mengumpulinya. Keempat, nikah (raht-turunan), yaitu seorang wanita dikumpuli oleh beberapa pria sampai hamil. Ketika anaknya lahir, lalu wanita itu menunjuk salah satu pria yang telah mengumpulinya untuk mengakui bayi yang telah dilahirkannya sebagai anaknya. Nikah ini sama dengan nikah baghaaya (menikahi para pelacur).

Islam datang menghapus semua bentuk pernikahan di atas. Karena dipandang tidak sejalan dengan naluri dan kehormatan laki-laki dan prempuan dalam Islam serta dapat dikatakan cara binatang yang tidak mengenal aturan.

2.  Dalam Hal Riba

Riba nasiah (jahiliyah) ini terjadi dalam hutang piutang. Kenapa disebut juga riba jahiliyah, sebab masyarakat Arab sebelum Islam telah dikenal melakukan suatu kebiasaan membebankan tambahan pembayaran atau semua jenis pinjaman yang dikenal dengan sebutan riba. Juga disebut dengan riba jali atau qat’i, sebab jelas dan pasti diharamkannya oleh Alquran. Praktek riba nasiah ini pernah dipraktekkan oleh kaum Thaqif yang biasa meminjamkan uang kepada Bani Mughirah. Setelah waktu pembayaran tiba, kaum Mughirah berjanji akan membayar lebih banyak apabila mereka diberi tenggang waktu  pembayaran. Sebagian tokoh sahabat nabi, seperti paman Nabi, Abbas dan Khalid bin Walid, pernah mempraktekkannya, sehingga turun ayat yang mengharamkannya. Ayat pengharaman riba ini membuat heran orang musyrik terhadap larangan riba, karena telah menganggap jual beli itu sama dengan riba.

3. Dalam hal Anak Angkat

Sebelum Islam datang, orang-orang Arab Jahiliyah telah mempraktekkan mengangkat anak. Namun praktek pengangkatan anak ketika itu merupakan sebuah budaya yang jauh dari norma-norma Islam. Orang Jahiliyah mengangkat anak dengan menjadikannya sebagai anak sendiri, menghilangkan nasab aslinya dan menggantikan nasabnya kepada dirinya (Bapak Asuh). Dengan demikian tidak ada batasan pergaulan atara anak angkatnya yang laki-laki dengan anak asli perempuannya. Orang jahiliyah menyamakan hak anak angkat dengan anak aslinya dalam hal warisan dan mengharamkan kawain dengan anak perempuan aslinya atau dengan istrinya jika ia sudah mati. Budaya seperti ini, sebelum Islam datang sudah kebiasaan yang ramai dilakukan oleh orang-orang jahiliyah. Sampai-sampai sebelum ada hukum yang ditegaskan oleh Islam Nabi Muhammad saw pernah mengangkat Zaid bin Haritssah. Maka ketika itu orang-orang jahiliyah memanggilnya Zaid dengan Zaid bin Muhammad, ketika itulah Allah swt memerintahkan kepada Nabi untuk menerapkan hukum Islam yang baru dan menghilangkan kebiasaan mengangkat anak pada zaman jahiliyah yang menisbatkan nasab kepada bapak angkatnya.

4. Dalam hal Warisan

Warisan dalam zaman jahiliyah tidak memiliki aturan. Anak yang paling dewasa pada zaman Jahiliyah. Adakalanya harta warisan diwasiatkan kepada orang yang dikehendaki. Anak perempaun tidak mendapatkan bagian sedikit pun dari harta warisan. Maka turunlah ayat yang mengharuskan wasiat yang dilakukan oleh orangtua atau kerabat tanpa membatasi orang yang diwasiatkan. Setelah itu turunlah ayat tentang warisan yang menetapkan pembagian harta warisan secara adil, yaitu ayat yang berbunyi “Bagi perempuan ada bagian harta pusaka…” Dan saudara dari pihak ibu juga mendapat warisan sebagaimana pihak dari ayah meskipun kerabat lebih besar. (Zahra, h. 188).

5. Tentang Haji

Orang Arab sebelum Islam datang merekapun melakukan ibadah haji sebagai warisan Nabi Ibrahim dan Ismail. Akan tetapi mereka merubah cara haji yang pernah dipraktekkan oleh Nabi Ibrahim dan putranya. Mereka menyekutukan Allah dengan berhala dan patung-patung dan mereka letakkan patung itu di sekitar Ka’bah dan di atara Safa dan Marwah. Mereka mendekatkan diri kepada Allah melalui berhala. Mereka juga merubah syair-syair haji. Mereka menyebut nama selain nama Allah swt.

6. Tentang Qisas

Dalam tradisi jahiliyah hulum qisas ditentukan oleh adat. Anggota semua suku bertanggung jawab atas penganiayaan yang dilakukan oleh seseorang yang berasal dari suku lain. Seandainya ada satu orang suku tertentu dianiaya oleh seseorang yang berasal dari suku lain maka belasannya tidak cukup menghukum kepada pelaku penganiaya sesuai dengan pelanggarannya. Tapi orang lain yang termasuk dari suku yang menganiaya juga mendapatkan resikonya. Akibatnya terjadilah peperangan dua kabilah (kabilah dari pihak penganiaya dan yang teraniaya) gara-gara penganiayaan yang hanya dilakukan secara perorangan. Maka Islam datang menghapus tradisi ini dengan tradisi yang memenuhi keadilan bahwa qisas (hukum balasan) hanya dikenakan kepada pelaku penganiayaan (kriminal saja) sedangkan orang lain yang tidak melakukan penganiayaan mereka teelindungi dari penganiayaan.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, K, Prof, 2000, Sejarah Islam (Tarik Pramodern), Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada.

Asyarie, Sukmadjaja dan Yusuf, Rosy, 2003, Indeks Al-Qura’an, Bandung, Pustaka.

Bucaille, Maurice, 2000, Bibel Al Quran dan Sains Modern, Jakarta, Bulan Bintang.

Departemen Agama RI, 1998, Al Quran dan Terjemahannya, Semarang, CV Asy Syita.

I.M, Thoyib, dan Sugiyanto, 2002, Islam dan Pranata Sosial, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya.

Kusumamihardja, Supan, H, DRH, dkk, 1985, Studia Islamica, Bandung, PT. Giri Mukti Pasaka.

MA, Hakim, Abd, Atang, Drs, dan Mubarok, Jaih, Dr, 2003, Metodelogi Studi Islam, Bandung, PT. Remaja Rosda Karya.

Sj, Bakker, J.W.M, 1990, Filsafat Kebudayaan Sebuah Pengantar, Jakarta, Pustaka Filsafat.