SULITNYA MEMBERANTAS BUDAYA KORUPSI DI INDONESIA

Oleh : Zaldy Munir

KATA korupsi di Indonesia sudah tak asing lagi, bahkan sudah menjamur kemana-mana. Dari level terkekecil sampai lever terbesar. Korupsi yang melanda hampir seluruh dunia ini merupakan kejahatan struktural yang meliputi sistem, organisasi, dan struktur kekuasaan. Karena itu, korupsi begitu menjadi sangat kuat dalam konteks perilaku politik dan sosial.

Masalah korupsi sebenarnya telah lama menjadi isu dan keprihatinan yang mendalam dari berbagai kalangan bangsa Indonesia. Bahkan, perbincangan masalah ini pernah mengangkat komentar proklamator Bung Hatta pada akhir 1970-an yang mensinyalir kegiatan kurupsi di Indonesia telah menjadi budaya yang sulit diberantas. (Media Dakwah, Agustus 1995).

Demikian juga, sangat sulit menentukan arah awal dimulainya antisipasi pemberantasan tidak kurupsi di Indoesia ini. Kejahatan yang sudah terukur secara terstruktural maupun kejahatan yang telah tersistematis sangat sulit menetukan makna “pemberantasan”. Mungkin yang terjangkau secara preventif hanyalah sekedar meminimalisasi perbuatan kurupsi tersebut. Sungguh, manakala kita membicarakan korupsi dalam konteks eliminasi, saat itulah dapat dikatakan korupsi sebagai sesuatu yang Beyond The Law karena sangat sulit kadar pembuktiannya.

Kesulitan pembuktian ini disebabkan oleh multifaktor, antara lain kekuasaan dan kuatnya para Economic Power. Dapat dikatakan kita telah memposisikan mereka dalam status Beyond The Law. Di samping itu, bukti-bukti konkret sudah terhidang. Partai politik elemen yang paling korup, sebagaimana survai yang dilakukan oleh Transparansi Internasional Indonesia (Koran Tempo, 17/1/2006). Partai politik seolah mengubah dirinya menjadi “drakula” yang mengisap darah publik berupa anggaran negara dan dana-dana pihak ketiga.

Bukan hanya itu, kinerja wakil-wakil rakyat juga rendah dan bisa dinilai merah. Hanya 14 undang-undang yang disahkan pada tahun 2005, itu pun tidak seluruhnya undang-undang murni karena ada peraturan pemerintah pengganti undang-undang yang diubah menjadi undang-undang.

Lebih dari itu, persoalan kurupsi sebagai budaya hukum ini berkaitan erat dengan sosial etika dan moral masyarakat dan pejabat penegak hukum. Tanpa adanya Political Will dari institusi kenegaraan, bukan dalam arti sempit eksekutif saja, tetapi juga yudikatif dan lembaga kenegaraan lainnya, maka pemberantasan korupsi akan sulit mencapai hasil yang maksimal.

Dari semua permasalahan di atas, sangat berarti peran kebijakan kriminal melalui pendekatan ­non-penal, yaitu dengan meningkatkan langkah kempanye anti korupsi, misalnya kampanye semacam ini diperlukan dengan pendekatan antara masyarakat, pers, dan institusi kenegaraan.

Selain itu, salah satu agenda pembenahan yang penting adalah para pemimpin. Sebab, di tangan merekalah segala kebijakan dihasilkan yang akibatnya pasti pada rakyat. Merekalah pemegang kekuasaan yang akan menghitam putihkan bangsa ini.■