PERS DAN KEBEBASAN PERS

“Dan janganlah engkau turuti apa-apa yang engkau tidak mempunyai ilmu padanya, sesungguhnya pendengaran dan pengelihatan dan hati, semua akan dimintai pertanggungjawabannya”

(Qs: Al-Israa’; 36)

 

Merujuk kepada ayat Al-Quran di atas, apa yang terjadi saat ini ditengah-tengah masyarakat kita merupakan hal yang sangat membahayakan akan kondisi keummatan dimasa mendatang. Saling ejek, fitnah, mengumbar kesalahan atau ‘aib orang lain, dan berbagai kemunkaran yang terjadi melalui media sudah menjadi hal biasa ditengah-tengah masyarakat yang pada akhirnya perbuatan ini akan dipertanggungjawabkan dihadapan Allah SWT. Tanggung jawab media sebagai perantara informasi di dalam masyarakat tentu sangat diperlukan baik secara moralitas (diniyyah) maupun secara administrative (dunyawiyah). Masyarakat jangan sampai terjebak dengan informasi yang tidak jelas dari mana datangnya. Kegagalan dalam menciptakan media yang amanah akan merusak tatanan kehidupan ummat dan sekaligus merusak kondisi berbangsa. Namun demikian, ummat juga harus faham tentang sifat sebuah berita. Apakah berita tersebut bersifat profokatif atau informatif. Untuk itu kita perlu membekali ummat Islam dengan pengetahuan dan referensi tentang ilmu berita atau ilmu jurnalistik.

Dalam sejarah, Napoleon Bonaparte lebih waspada terhadap serangan media atau jurnalis daripada serangan senjata dari musuh-musuhnya. Ini membuktikan bahwa kekuatan jurnalistik merupakan ”senjata” yang sangat ampuh bagi masyarakat dalam memerangi pemimpin yang dzalim. Perang ”tak bermedan” ini dapat mangakibatkan kekalahan dan kerugian yang telak bagi salah satu petarungnya. Sebab yang di taklukkan di sini adalah pikiran orang banyak atau public opinion. Dan publik jugalah yang akan mengeksekusi hukuman yang dijatuhkan kepadanya. Perang ”senjata pena” ini menggunakan akal dan pikiran manusia tidak hanya sebagai subyek tetapi sekaligus juga sebagai obyek. Oleh karena itu pers harus mempunyai nilai-nilai ilmiah dan bertanggungjawab.

Media Amanah dan Bertanggung jawab

Karena berbagai keterbatasan ruang dan waktu yang dimiliki oleh media (media cetak maupun elektronik) maka jurnalistik memiliki sifat ilmiah yang khas yaitu singkat, padat, sederhana, lancar, jelas, lugas dan menarik. Pesatnya kemajuan media informasi dewasa ini memberikan kemajuan yang signifikan pada masyarakat. Media cetak maupun elektronik pun saling bersaing kecepatan sehingga tidak ayal bila “si pemburu” berita dituntut kreativitasnya dalam penyampaian informasi. Penguasaan dasar-dasar pengetahuan jurnalistik merupakan modal yang amat penting manakala kita terjun di dunia jurnalistik. Keberadaan media tidak lagi sebatas penyampai informasi yang aktual kepada masyarakat, tapi media juga mempunyai tanggung jawab yang berat dalam menampilkan fakta-fakta untuk selalu bertindak objektif dalam setiap pemberitaannya.

Kepercayaan masyarakat dipertaruhkan dalam setiap baris kata-kata yang menjadi berita pada setiap media. Jika dunia pers tidak mampu mengambil kepercayaan masyarakat dan memeliharanya maka seiring waktu dunia pers akan tengelam dan kembali menjadi sasaran kritikan dan dianggap menjadi sumber fitnah didalam masyarakat. Objektifitas dan ketidakberpihakan menjadi suatu hal yang mutlak bagi dunia pers. Sebagaimana kata “News” sendiri mengandung pengertian “north”, “east”, “west”, dan “south”. Bahwa si pencari berita dalam mendapatkan informasi harus dari keempat sumber arah mata angin tersebut. Namun dunia pers menganggap tanggung jawab yang demikian besarnya tidak diiringi dengan kebebasan dan perlindungan terhadap dunia pers.

Kebebasan Pers

Dunia pers mengklaim arti kebebasan sebagai; tidak dituntut oleh pengadilan kriminal: kebebasan untuk mencari, memperoleh dan menyebarluaskan gagasan dan informasi tanpa hambatan dari pihak mana pun. Undang-Undang No 40/1999 tentang Pers menyebutkan, “Kemerdekaan pers adalah suatu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan supremasi hukum”. Ini artinya, kemerdekaan pers dijalankan di dalam bingkai moral, etika dan hukum, sehingga kemerdekaan pers adalah kemerdekaan yang disertai dengan kesadaran akan pentingnya penegakan supremasi hukum yang dilaksanakan oleh pengadilan, dan tanggung jawab profesi yang dijabarkan dalam Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI), sesuai dengan hati nurani insan pers.

Istilah “Kebebasan Pers” sebenarnya dikonsepkan melalui suatu konklusi dari ketentuan yang ada didalam UU No 40/1999 beserta penjelasannya, yang pada intinya menyatakan pers bebas dari tindakan pencegahan, pelarangan dan atau penekanan dalam upaya mencari, memperoleh dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. Dengan demikian, makna kemerdekaan pers lebih luas dari makna kebebasan pers yang dipersepsikan oleh insan pers.

Pers dan kemerdekaan pers adalah suatu wujud dari kedaulatan rakyat yang mempunyai peranan yang sangat penting di dalam zaman reformasi ini. Namun, pada kenyataannya harus disadari pula bahwa pers kita menjadi pers yang lebih sering beretorika (meminjam istilah Satjipto Rahardjo) sehingga terkadang menyalahgunakan kebebasan sendiri (abuse of liberty). Bahkan pers lebih pintar membeberkan omongan-omongan, pernyataan-pernyataan belaka tanpa diskusi tentang “ketuntasan”. Pers hanya mencari-cari dan memburu berita-berita konsumtif mengenai ketidakberdayaan, kebobrokan dan kesensasionalan bahkan gosip yang tidak-bertanggungjawab.

Oleh karenanya, pers dalam media massa tidak menghasilkan informasi yang mendidik masyarakat, tetapi lebih banyak menjadi sumber provokasi. Pers yang demikian adalah pers yang retorik, yang bisa merusak bekerjanya institusi pers sesuai dengan otentitasnya yang baku. Dalam kondisi yang demikian, pers berperan besar dalam membangun bangsa yang selalu “bertindak dengan retorika” belaka.

Pers pada prinsipnya sudah menjadi kekuatan yang sangat besar mempengaruhi masyarakat, oleh karena itu beban yang dipikul pers adalah bertanggung jawab atas kebenaran dari beritanya dan dampak yang timbul dari pemberitaannya. Sejauh ini terkadang pers gagal mengantisipasi ekses-ekses negatif dari kebebasan pers seperti pornografi, penyebaran berita bohong, provokatif, sampai pada character assassination. Tidak jarang pers sengaja menciptakan opini terhadap suatu permasalahan dalam masyarakat dengan membawa kepada opini kebersalahan (culperend).

Bagaimana kita terkadang harus mengakui, pers Indonesia tak jarang keluar dari koridor perofesionalisme dan etika jurnalistik. Kemerdekaan pers masih berjalan dalam tatanan artifisial; karena kebebasan itu banyak diterjemahkan sebagai kebebasan untuk memberitakan apa saja dengan gaya apa saja: sensasional, bombastis, provokatif, dan menyerang. UU Pokok Pers No.40/1999 sebenarnya telah memberi landasan yang kuat bagi perwujudan kemerdekaan pers di Indonesia. Namun dalam praktiknya hingga kini kemerdekaan pers belum berlangsung secara substansial karena masih lemahnya penghargaan insan pers terhadap profesinya. Banyak sekali terjadi pelanggaran etika dan profesionalisme jurnalistik yang justru kontraproduktif bagi esensi kemerdekaan pers. Maraknya aksi-aksi massa terhadap kantor penerbitan di samping menunjukkan rendahnya apresiasi masyarakat terhadap kebebasan pers, juga diakibatkan oleh masih rendahnya penghargaan insan pers terhadap kebebasannya.*