PANAS DINGIN KEHIDUPAN

OLeh Zaldy Munir

SUDAH beberapa minggu belakangan ini, kita tidak dapat memprediksikan keadaan cuaca. Saat pagi hari cuaca terlihat cerah, dalam tempo 1 jam saja, cuaca berubah mendung, gelap, semakin gelap, dan akhirnya turun hujan lebat yang disertai gemuruh petir dan terpaan angin kencang.

Bagi mereka yang bekerja menggunakan angkutan umum, keadaan ini sering kali membuat mereka dalam dilema, apakah akan membawa jaket atau cukup membawa payung. Bagi para perempuan, membawa payung adalah sesuatu yang biasa. Sedangkan bagi seorang pria, membawa payung itu adalah pilihan yang kesekian.

Sebuah pilihan yang sederhana memang, namun ini menyangkut faktor kebiasaan dan ego semata. Bagaimanapun juga, panas dinginnya udara harus kita sikapi dengan bijaksana. Namun, ada kondisi panas dingin dalam konteks berbeda, yang  kerap kali sangat sulit sekali kita sikapi dengan bijaksana. Perlu kesabaran dan upaya pragmatis untuk menghadapi keadaan panas dingin yang satu ini.

Panas dinginnya harga barang-barang kebutuhan pokok, sedang menghinggapi kehidupan masyarakat negara kita. Lonjakan berbagai bahan kebutuhan pokok secara silih berganti dan seakan tiada habis-habisnya, telah membuat banyak ibu-ibu di negeri kita tidak bisa atau tidak sanggup membuat ragam pilihan.

Sebentar naik, tidak lama turun sedikit. Turunnya harga bisa terjadi kalau pemerintah segera turun tangan, bukan karena pasar sendiri yang menghendaki harga-harga tersebut turun. Sifatnya bukan sistematik.

Ibu-ibu kita seakan dipaksa untuk hidup kembali ke tahun 1960-an, saat banyak kebutuhan pokok sulit untuk didapatkan. Kalau ada, mereka harus antri berjam-jam atau membelinya dalam jumlah terbatas karena mahal harganya.

Tak disangka, kondisi ini, terjadi di jaman modern seperti sekarang ini, banyak ibu-ibu di negeri kita harus antri untuk mendapatkan minyak tanah, minyak sayur, bahkan beras. Negeri yang kaya dengan hasil bumi ini, rupa-rupanya sulit menyediakan kebutuhan pokok bagi warga negaranya dengan melimpah-limpah dan harga murah.

Bisa makan 3 kali sehari saja susah, apalagi mau mengumpulkan materi hingga menjadi kaya harta… entah kapan bisa terjadi. Sebagian rakyat Indonesia memang seakan berada dalam posisi terpuruk oleh kemiskinan. Ketika yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin. Entah sampai kapan seluruh rakyat Indonesia bisa masuk ke dalam kategori masyarakat makmur dan sejahtera.

Oleh karena kemiskinan, jiwa-jiwa banyak yang tidak kuat menghadapi tantangan beratnya kehidupan. Ada yang bunuh diri, dan ada pula yang mati kelaparan. Sangat mengenaskan ketika melihat berita di televisi dan membaca berita di koran, peristiwa meninggalnya seorang ibu yang sedang hamil tua beserta anaknya yang mati kelaparan di Sulawesi Selatan karena tidak punya uang untuk membeli makanan.

Banyak orang yang tidak berani berkomentar melihat dan membaca tragedi itu karena  memang, tragedi seperti itu tidak perlu terjadi di negara kita. Hal yang mengenaskan, mereka yang kelaparan pada saat ini jumlahnya sudah mencapai angka ribuan, tidak lagi puluhan atau satu-dua semata.

Kalau sudah seperti ini, seluruh bangsa Indonesia menjadi panas-dingin. Semoga saja, termasuk  di dalamnya, pemerintah kita. Mereka mau bergerak karena hati mereka trenyuh melihat rakyatnya mati karena tidak bisa makan.

Pemerintah seharusnya gelisah dengan keadaan ini. Para politisi seharusnya sadar, bahwa kekuasaan yang ada pada mereka, seharusnya bisa membuat rakyat bisa sejahtera dan makan secara layak. Sebab, kalau bukan mereka-mereka itu, siapa lagi yang akan memikirkan kondisi rakyat? ■