PAK TUA TELAH TIADA
Oleh Zaldy Munir
MERDEKA, merdeka! Sekali merdeka tetap merdeka!” seru Pak Tua sambil mengepalkan tangannya. Suaranya berat dan mantap. “Hore… Pak Tua datang lagi! Merdeka, merdeka, merdeka!” sambutku berserta kawan-kawanku di mulut gang sore itu. Aku gembira menyongsong kehadirannya. Orang yang aku tunggu-tunggu kini telah tiba.
Pak Tua berjalan pelan menghampiriku dengan sepasang tongkat yang terbuat dari bambu. Kaki kirinya buntung menggelantung, terbungkus celana panjang tebal dan kumal berwarna hitam. Sama dengan bajunya. Sepintas penampilannya mirip seperti pengemis atau gelandangan. Mukanya pun terlihat cekung berseri-seri. Tersandang sebuah ransel kusam di pundaknya. Entah apa isinya. Tapi yang pasti, setiap minggu dia selalu muncul di kampungku, lalu pergi entah ke mana. Dia bergaul akrab dengan kawan-kawanku. Seperti menganggap teman atau sahabat
Pak Tua mulai menampakkan diri pada tahun lalu. Sebagian penduduk sudah mengenalnya, mulai dari orang tua sampai anak-anak. Namun, tak seorang pun tahu asal-asul serta tujuannya datang kemari, di samping bergaul akrab dengan anak-anak.
Semula, beberapa kawan-kawanku suka mengolok-olok karena keadaannya itu. Tapi lama kelamaan tidak. Kawan-kawanku tidak mau lagi menyebutnya “si buntung” atau “si pincang.” Semua jadi kompak memanggilnya “Pak Tua.” Satu panggilan yang cukup pantas dan sopan, walau orang itu bisa juga dibilang kakek dan mereka boleh disebut cucu.
Pak Tua orangnya sabar dan mendidik. Dia suka mendorong jiwa anak-anak untuk bisa menjadi orang-orang pemberani seperti para pahlawan bangsa, sehingga tidak segan-segan mencontohkannya dengan tingkah laku sikap patriot gagah perwira pahlawan kemerdekaan pada jaman perjuangan. Kalau cerita wayang, dia mengumpamakan seperti Gatotkaca bagi anak laki-laki dan Srikandi bagi anak perempuan.
“Tapi jangan lupa, kalian juga harus jujur, bertanggung jawab, dan rajin belajar, menuntut ilmu di sekolah untuk masa depan,” pesannya berkali-kali. Aku pun masih tetap ingat ucapannya yang lain. “Maju terus pantang mundur! Gugur satu tumbuh seribu!” Dia seperti mengutip omongan seorang pejuang atau pahlawan. Mungkin saja dirinya bekas pejuang revolusi kemerdekaan. Ya, mungkin saja. Tapi mengapa demikian, keadaannya amat memprihatinkan, seperti tidak ada yang urus.
Mungkin, sosok seperti Pak Tua itu akan diperhatikan atau diurus kalau sedang menyambut hari Pahlawan ataupun menyambut hari Kemerdekaan. Ketika itu semua sibuk mencarinya. Tapi setelah itu mereka lupa. Lupa untuk melupakannya. Atau lupa seperti orang yang hilangan ingatan.
Ya, mungkin saja, ini juga salah satu kelemahan bangsa ini yang suka melupakan jasa-jasa dan perjuangan para pahlawan terdahulu. Ibarat kata, yang berlalu biarlah berlalu. Padahal Bung Karno pernah mengatakan, “Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah.” Tapi entahlah. Yang pasti, lelaki penuh uban di kepala dan juga di kumisnya itu selalu memakai baret hitam polos disetiap pemunculannya. Pantas juga walau rambutnya gondrong tidak teratur.
Selama bermain, Pak Tua sudah beberapa kali mengajakku bermain perang-perangan seperti pada masa revolusi dulu. Dia yang mengajarkan segalanya, seperti cara berbaris, pegang senjata, kemudian menembak dan mengepung musuh. Semuanya senang, bersemangat, walau semula ada juga yang malas-malasan karena merasa belum tertarik.
Khusus untuk anak perempuan, meski cuma beberapa orang, Pak Tua memberi pelajaran tambahan mengenai palang merah serta dapur umum yang merupakan bagian dari romantika perjuangan. Sesudah itu, mereka boleh memilih, mau jadi apa? Srikandi, pejuang wanita? Juru rawat atau jurumasak? Terserah. Tapi kebanyakannya memilih menjadi Srikandi, bertempur bersama melawan musuh.
Di dalam permainan itu, aku bisa berganti-ganti peran menjadi tentara Belanda dan pejuang kemerdekaan. Ternyata, dia fasih juga berbahasa Belanda. Karena itu, dia sempat pula mengajariku walau hanya sedikit untuk perannya sebagai tentara Belanda. Jadi, aku dan kawan-kawanku sama-sama menggunakan bahasa campuran, yaitu bahasa Belanda dan bahasa Indonesia.
Alat-alat persenjataannya seadanya saja, berupa kayu, bambu, dan ditambah dengan pistol-pistolan. Kemudian tempat bermainnya pun di pinggir jalan. Walau sesekali sering menggangu pengguna jalan. Maklum, di kota ini sudah tidak ada lagi tanah lapang untuk bermain. Semua harus mengalah dengan apartemen atau gedung-gedung yang menjulang.
Sekali waktu, ceritanya, Pak Tua tertanggkap oleh Belanda. Dia disiksa, dipaksa supaya bicara, memberitahukan di mana markas perjuangannya. Namun dia tetap bungkam. Labih baik mati daripada harus buka rahasia. Maka… dor, dor, dor, Pak Tua ditembak mati! Pokoknya seru dan lucu. Aku melihatnya sampai tertawa terpingkal-pingkal. Sampai-sampai perutku terasa sakit.
Setiap waktu selalu ada saja orang yang menonton, terutama anak-anak. Semua itu bagai pertunjukan hiburan gratis bagi penduduk setempat. Atau kilas balik perjuangan bangsa yang berakhir dengan seruan tadi, “Merdeka, Merdeka! Sekali merdeka tetap merdeka!” pekik kebebasan sekaligus kegembiraan yang bertepatan dengan HUT Kemerdekaan RI.
***
AKU dan kawan-kawanku langsung mengerubuti Pak Tua setelah datang kembali. Dia terharu. Aku lihat tiba-tiba matanya berkaca-kaca, dan tak terasa airmata tanpa diminta pun mulai jatuh berlinang membasahi pipinya yang keriput. Diusap airmatanya yang kembali membasahi pipi. Menggigit bibirnya agar airmata itu tertahan. Tapi dia benar-benar tak kuasa menahannya. Lalu mengeluarkan makanan kecil dari ranselnya untuk dibagikan. Entah didapat dari mana makanan itu?
“Anak-anak, kita rayakan hari Kemerdekaan ini dengan cara yang amat sederhana, tidak perlu mewah-mewah apalagi sampai memakan biaya miliaran. Mudah-mudahan kalian tidak merasa kecewa,” ujarnya sambil tersenyum.
“Tidak, Pak Tua. Kami tetap senang bisa berjumpa lagi dengan Pak Tua. Apalagi di hari kemerdekaan ini. Biarpun Pak Tua hanya bisa memberi sedikit oleh-oleh buat kami. Terima kasih, Pak Tua,” sahutku setelah mencicipi makanan berupa roti darinya.
“Aku mau tanya, Pak Tua. Artinya pejuang itu apa? Aku kepingin tahu,” tanyaku lebih lanjut. Sambil memegang tongkatnya yang terbuat dari bambu.
“Pejuang adalah orang yang benar-benar berjuang untuk kepentingan bangsa dan negaranya. Rela berkorban jiwa dan raga. Tidak mengharapkan balasan atau upah,” jawabnya sambil tersenyum.
“Kalau mata-mata…?” timpalku kemudian.
“Orang yang diam-diam mencari informasi, mengumpulkan bukti-bukti untuk diserahkan kepada pihaknya. Dia bisa dibilang jahat bisa juga tidak. Tergantung ke mana dia berpihak. Kalau ke musuh, yah… jahat. Tapi kalau ke kita, yah… dia baik. Ikut membantu perjuangan,” jelasnya penuh semangat.
Tidak lama kemudian Pak Tua pamit padaku dan kawan-kawanku. Aku tentu saja heran. Tidak biasanya dia datang cuma sebentar. “Sekarang Pak Tua mau terus ke mana?” tanyaku. Pak Tua tersenyum sambil menepuk-nepuk pundakku.
“Boleh aku ikut?” pintaku kembali sambil tersenyum memandangnya.
“Tidak usah, Zal. Kamu pasti susah, lelah ikut dengan Pak Tua. Ya, minggu depan, insya Allah kalau ada umur Pak Tua pasti ke sini lagi menemuimu dan kawan-kawanmu. Sekarang Pak Tua pergi dulu, ya. Kamu boleh pulang sebelum matahari terbenam. Merdeka!” teriaknya.
“Merdeka!” balasku. Dia terus berlalu meninggalkanku melalui gang itu juga seperti biasa. Aku bengong dan bertanya-tanya dalam hati sampai orang itu lenyap dari pandanganku.
Selama ini aku baru tahu, Pak Tua diam-diam sering mengunjungi sederet makam pejuang yang ada disalah satu sudut pemakaman umum di sebelah timur kampungku. Dia berdoa di situ, kadang sambil menangis tersedu-sedu. Sedih kelihatannya.
Sepertinya Pak Tua merasa kesepian ditinggal sendiri. Dia ingin segera menyusul kawan-kawannya yang sudah pergi ke alam baka. Dia merasa hidup pada saat ini sulit untuk membedakan antara kawan dan lawan. Kian hari kian carut marut. Sehingga sulit untuk membedakan antara suara kentut dan suara wakil rakyat. Semua teriak tanpa arah dan tujuan. Hanya janji-janji semu yang dilontarkan, tapi pembuktiannya nihil.
Di mulut gang itu, setiap minggu, aku selalu menanti kedatangannya. Namun, orang yang dinanti-nanti itu tak pernah kembali. Entah ke mana perginya. Di makam pun tak ada. Aku merasa kehilangan. Dia menghilang setelah memproklamasikan kemerdekaan di hadapan tunas-tunas bangsa teman mainnya. ©
Kisah yg sederhana, tapi benar2 menarik. Sampeyan benar2 pandai bercerita. Mengungkap realita dalam posting yg bagus. Kalimat2nya mengalir kayak sungai.
Dari Redaksi – Terima kasih… Atas komentarnya. Salam…
Pak Tua sama seperti kita. merindukan negara ini berubah..
Dari Redaksi – Pak tua adalah bentuk perlawanan dari ketidakadilan yang ada di negeri ini.
Saya sangat terharu sekali dengan cerita tersebut, pak tua dengan semangatnya yang masih tersisa mampu memberikan semangat bAGI generasi muda, masih mampu memberikan contoh yang baik, masih mampu menjadi panutan bagi orang-orang di sekelilingnya. Walau sudah tua semangatnya masih berkobar.
Lantas bagaimana dengan generasi muda yang ditinggalkan, mampukah mencontoh atau melanjutkan apa yang dilakukan oleh pak tua????
Bagaimana kang??? apakah kita mampu menjadi si pak tua?????
Menurut kang zaldy bagaimana?
Salut deh… buat kang zaldy, ceritanya sungguh menarik, membuat saya lebih bisa intropeksi diri sebagai generasi muda agar bisa melakukan yang terbaik seperti yang pak tua lakukan, bermanfaat bagi Bangsa, Agama dan di sekeliling kita.”Terimakasih” kang, membaca tulisan ini membuat saya lebih semangat untuk menjalani apa yang saya lakukan, kang jaldy sendiri bagaimana??? Semangatnya udah mulai bangkitkan???
Sukses selalu buat akang dan tetap semangat!
Wanita yang hina dan fakir serta tiada daya upaya
Dari Redaksi – Wahh… terima kasih atas komentar-komentarnya.
Mmm… mmm… menurut saya kita pun mampu seperti Pak Tua. Selama kita hidup tidak individualis maksudnya tidak mementingkan diri sendiri. Dan mempunyai kepedulian, terhadap negaranya.
Kisah Pak Tua pada intinya mengajarkan kita untuk hidup ikhlas dan sabar dalam menjalani hidup ini dari segala macam hal, dan tidak mengharap upah apapun.
merdeka bung..semoga masih ada generasi2 muda pewaris idealisme para pahlawan yang eksis menggunakan mata hati dalam melanjutkan perjuangan, tentunya tak lepas dari kita2 juga dalam memberikan kontribusi dan motivasi bagi mereka2..dan juga tetap mendukung OKP yang ada di negeri kita ini !
Dari Redaksi – Merdeka!!! Merdeka!!! Merdeka!!! Semoga negeri ini bisa merdeka dari Penjajahan Akhlak dan dari kaum Kapitalis. Merdeka!!!
oooowww… mengharukan…
apakah ini kisah nyata?
Dari Zaldy – Ini bukan kisah nyata, Mbak. Kisah ini cuma permainan imajinasi saya aja, Mbak. Dan juga kisah ini sebagai bentuk keprihatinan saya kepada para pahlawan pejuang yang mempertahankan negara ini dengan tumpah darah. Akan tetapi, selasai dari semua itu, mereka dianggap angin lalu, dan tidak mendapat perhatian khusus dari pemerintah. Ibarat kata, yang lalu… biarlah berlalu.
Mas Zaldy, saya paling suka alinea kedua terakhir :
Sulit dibedakan antara suara kentut dan suara wakil rakyat. Semua teriak tanpa arah dan tujuan.
cerita yang sangat menyentuh Mas. meski ini imajinasi, tapi menurut saya mampu menggambarkan kenyataan yang ada….
salut!!!
Dari Redaksi – Makasih Mbak atas komentar-komentarnya.
MERDEKA … 🙂
Dari Redaksi – Merdeka!!! Sekali merdeka tetap merdeka.
Jadi mikirin pak tua itu… tinggal ma siapa, yang ngurusin siapa, giman nasibnya sekarang…Sepertinya pak tua itu ingin membangkitkan jiwa patriotisme dalam diri anak harapan dan penerus bangsa itu…Pak tua menginginkann agar tidak lupa pada para pejuang yang telah mempersembahkan kebebasan dan kemerdekaan pada kita… iya ingin negara ini bebas, maju dan berkembang sejalan dengan cita2 para pendahulunya.(berjuang, berkorban jiwa raga tanpa pamrih)… mungkin seperti itu….
Dari Redaksi – Mmm… mmm… betul Mbak.
wow…keren…
Dari Redaksi – Ahh… yang benar….
Merdeka mas zaldy.. kerennn!!
Dari Redaksi – Merdeka juga…
Assalamualaikum wr wb,
Makin mantap aja tulisannya nih. Memang pak tua ini sudah sebatang kara tua renta di zaman modern reformis ini. Semangat perjuangan melawan penjajah modern, penjajah iman, penjajah mental, dan mempertahankan hasil perjuangan semangat melawan penjajahan fisikal, sudah tidak lagi mengendur tapi juga pupus.
Tapi kenapa semangat pak tua juga turut mengendur, hingga memilih sesegera mungkin menyusul yang sudah mendahului? Mudah2an sebelum benar2 resmi dengan kepergiannya, pak tua makin semangat menanamkan kembali benih2 semangat dalam hati penerusnya dalam melawan penjajahan intelijen.
Hmmm… ngomong apa sih? hehehee…
Bener2 hebat tulisan kang Zaldy ini…
Wassalam…
Dari Redaksi – Terima kasih.