LESTARIKAN PREDIKAT TAKWA

Oleh : Zaldy Munir

HARAPAN terbesar bagi setiap Muslim adalah diterimanya amal ibadah, baik ibadah yang bersifat individu, maupun yang bersifat sosial. Target akhir dari ibadah puasa yang diwajibkan Allah kepada umat Islam, adalah mencapai predikat takwa, seperti yang tersurat dalam Alquran. “Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah [2] : 183).

Keberhasilan insan Muslim menjalankan ibadah puasa terlihat di luar Ramadhan. Insan yang sungguh-sungguh melaksanakan amaliyah Ramadhan berupaya mengamalkan nilai-nilai puasanya di luar Ramadhan. Artinya, keberhasilan insan-insan yang berpuasa bukan pada Ramadhan, tetapi sebelas bulan setelah Ramadhan. Kalau ia berhasil, ia menjadi insan yang bertakwa dengan sebenar-benarnya.

Ciri-ciri insan takwa dicantumkan dalam firman Allah SWT. “(yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan salat, dan manginfakankan sebagian rizki yang Kami anugrahkan kepada mereka.” (QS. Al-Baqarah [2] : 3 ).

Dengan menjadi insan yang bertakwa, maka yang berhasil dalam melaksanakan ibadah puasa, ia akan peduli kepada fakir miskin, dhuafa. Bahkan, ayat lain yang menyebutkan, insan takwa itu selalu menginfakkan hartanya dikala sempit maupun keadaan lapang. Artinya, orang yang berpredikat takwa ia mudah untuk berbagi hartanya.

Predikat takwa yang dicapai insan yang berhasil dalam menjalankan ibadah puasa ditandai dengan kepekaan sosialnya yang sangat tinggi. Ia bisa merasakan pendiritaan insan lain, khususunya yang fakir miskin bukan hanya pada saat puasa, tetapi justru setelah ia berpuasa.

Itu sebabnya puasa ramadhan selalu ditutup dengan zakat fitrah. Perintah mengeluarkan zakat dalam Alquran, seringkali menggunakan istilah sedekah dan zakat, yang dalam pengertian sehari-hari juga disebut infak.

Zakat, secara etimologi, berasal dari kata dasar (fi’il madhi) zaka, yang berarti tumbuh dan berkembang (zakatal-zahar: tanaman itu telah tumbuh berkembang), bertambah kebaikannya (fulan zak:orang yang bertambah kebaikannya), menyucikan (qad aflaha man zakkaha : beruntunglah orang-orang yang mampu menyucikan jiwanya), seraya menyanjung (fala tuzakku anfusakum : janganlah kamu sekali-kali menyanjung dirimu sendiri.

Secara terminologi, Sayyid Sabiq mendefinisikan zakat sebagai suatu predikat untuk jenis barang yang dikeluarkan manusia, sebagai hak Allah, untuk dibagikan kepada fakir miskin. Definisi serupa juga dikemukakan oleh Muhammad Zuhri Al-Ghamrani, yaitu bentuk predikat untuk suatu barang dalam kadar tertentu yang dikeluarkan guna menyucikan harta dan jasmani manusia. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT “Ambilah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka ….” (QS. At Taubah [9] : 103)

Insan takwa juga senantiasa memiliki keinginan untuk mengajak insan lain masuk surga. Ia tidak ingin sendirian. Surga itu tidak hanya di akhirat, tetapi juga di dunia. Surga dunia adalah bebas dari kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, ketimpangan sosial, penindasan, dan sebagainya.

Dengan adanya konsep zakat inilah yang ada pada Islam ditunjukan untuk saling mengasihi dan membantu saudaranya yang secara ekonomi kurang mampu (miskin). Sedangkan bagi mereka yang miskin dituntut untuk berusaha mencari kehidupan dengan cara yang halal dan tidak mengemis kepada orang lain.

Dengan cara seperti inilah masyarakat miskin tersebut tetap terjaga harga dirinya. Sehingga tercipta suatu keseimbangan hidup, tanpa adanya penindasan dan kebencian dalam hubungan manusia dengan manusia lainnya.