FAHRI SI PENJULAN TROMPET

Oleh : Zaldy Munir


FAHRI, demikian nama lelaki yang berumur empat puluh tahun, namun bertampang serenta enam puluh tahun. Rambut hitamnya yang mulai memutih diatur rapih. Matanya yang jenuh dan mukanya berkerut karena usianya. Kerutan di wajahnya mencerminkan kelelahan. Bahunya yang dahulu tegak kini mulai terbungkuk. Urat-urat nadi yang terpilih di otot tanganya mulai keriput.


Di kota ini ia hanya hidup seorang diri. Tinggal dibilangan daerah yang padat di Kramat Sentiong, Jakarta Pusat. Dengan ditemani redupnya cahaya lampu teplok berukuran kerdil, tempat tidur yang berukuran meja pimpong. Dan jendela yang berukuran upil gajah pun tak mampu membuat sang mentari mempir kemarnya.


Siang itu, panas terik matahari yang menyengat di kepalanya dan angin yang berhembus pelan seolah tak ada artinya. Hanya sebatang daun kering yang menempel di selah bibir tipisnya. Fahri hanya dapat menunggu dan menunggu seorang pembeli, agar dagangannya berupa terompet laku terjual. Demikianlah pekerjaan yang Fahri lakukan sebagai seorang penjual terompet.


Ia biasa berjualan terompet di kawasan keras Terminal Senen, Jakarta Pusat. Meskipun hiruk-pikuk pengunjung Pasar Senen membuatnya pusing. Lalu lalang orang-orang berbelanja, teriakan pedagang obralan dan bau teringat yang menyengat membuat kesumpekan semakin terasa.


Namun, semuanya itu tak membuatnya menyerah. “Hidup di Jakarta memang susah-susah gampang. Susah kalau kita nggak mau berusaha. Hidup di kota ini apa aja bisa jadi duit, asalkan kita mau berusaha dan tidak menyerah,” ujarnya, lelaki kelahiran Yogyakarta.


Ia berjulan terompet hampir setiap tahun, “Saya berjualan terompet memang hapir setiap tahun. Karen sehari-hari saya bekerja sebagai pengumpul besi tua,” ungkap lelaki yang kini menduda.


Menjelang tahun baru penghasilannya dibilang lumayan. Dalam sehari ia dapat menjual sepuluh sampai lima belas terompet dalam sehari, dengan harga yang bervariasi, tergantung dari bentuk dan model terompetnya.


“Namanya juga jualan. Kadang-kadang laku kadang-kadang nggak. Tapi, dengan menjual terompet saya ada penghasilan lumayan, ketimbang mencari besi tua. Kalau jual terompet sehari saya bisa dapat tiga puluh ribu sampai lima puluh ribu sehari, kalau mencari besi tua tergantung. Kadang dua puluh ribu, kadang sepuluh ribu,” bebernya.


Fahri memulai aktivitasnya berjualan terompet dari pukul sepuluh pagi sampai pukul lima sore. Untuk mendapatkan terompet-terompet ia harus mencari di daerah kali deres. Karena di situ model-model terompetnya sangat banyak, mulai model biasa sampai yang model ular. “Memang jauh sih saya mencari terompetnya, jam enam pagi saya harus berangkat ke terminal kali deres. Walaupun jauh saya puas, karena saya dapat menjual beberapa model terompet, “ imbuhnya.


Entah mengapa tiba-tiba pelupuk matanya berubah sedih ketika ditanya perihal anak dan istrinya. Pandangannya di hempaskan ke arah jalan, menghirup napas panjang, lalu ia berkata. “Anak dan Istri saya sudah lama meninggal dunia. Padahal mereka adalah yang bisa membuat saya bertahan. Bertahan dari kemiskinan dan kesengsaraan,” tuturnya sembari mengelap keringat di wajahnya.


“Ketika mereka meninggal saya menjalani hidup sekedar hidup. Tanpa arah. Seperti orang kehilangan kompas. Saya bergerak berdasarkan angin, bukan berdasarkan hati,” lanjut lelaki yang mempunyai hobi memancing ini.


Angin berhembus pelan, daun-daun bergoyan gontai, dan kicauan burung-burung gereja di atas tiang listrik membuat suasana waktu itu semakin khidmat, walaupun sang mentari sudah menyengat tubuhnya tanpa ampun kala itu.


Ia terdiam sejenak dan mengarahkan pandangannya ke langit. Tidak lama kemudian ia berkata. “Ketika anak dan istri saya meninggal, hampir tiap malam saya menangis, tapi tanpa airmata. Entahlah, mungkin karena saya sudah lelah mengasihani diri sendiri atau karena mata saya sudah mati…!,” tungkasnya lebih lanjut.


“Istri saya bernama Lili. Ia meninggal ketika melahirkan. Dokter bilang ia harus diopresi sesar, karena nggak ada uang akhirnya saya hanya bisa pasrah dan menyerahkan kepada Tuhan,” ucap lelaki yang hobi makan combro goreng.


“Anak saya bernama Agus. Ia meninggal ketika berumur dua tahun. Karena demam berdarah. Lagi-lagi karena tidak ada biaya untuk ke rumah sakit. Akhirnya saya hanya bisa pasrah, pasrah pada nasib,” sendunya.


Di tahun ini ia tidak banyak berharap apa-apa. Untuk bisa makan itu sudah cukup baginya. “Buat saya di tahun baru ini saya nggak banyak berharap apa-apa. Bagi saya bisa makan saja, sudah cukup,” tambahnya.


“Kalau berharap dari pemerintah sepertinya mustahil. Karena mereka itu hanya mementingkan dirinya sendiri. Yang kaya makin kaya, yang miskin maskin miskin,” pungkasnya.■