YANG MUDA MELEK KE SUNDAAN

The INDEPENDEN’S – Weblog – KEKUATAN adalah (modal) kehidupan, sementara kelemahan adalah (penyebab) kematian atau kepunahan, kata Swami Vivekanda dari India. Begitu juga dengan etnik Sunda. Ketika Sunda – sebagai salah satu dari ratusan etnik di Indonesia – kuat dan kokoh, pasti akan terus eksis. Namun, sebaliknya. Ketika Sunda melemah, ia akan sekarat dan pasti mati. Bahkan akan tertimbun lapisan sejarah, dilupakan banyak orang. Sunda sebagai sebuah komunitas etnik, menyisakan aneka warisan kultural dalam kehidupan masyarakat Jawa Barat; kendati, tidak seluruhnya warga di Jawa Barat bersuku Sunda.

 

Tiga Narasi Kultural

Urang Sunda zaman dulu tentu saja sangat berbeda dengan generasi Sunda kiwari. Setidak-tidaknya ada tiga narasi kultural yang berkembang pada masyarakat Sunda saat ini.

 

Pertama, narasi kultural yang diwakili masyarakat Sunda yang masih mikukuh falsafah hidup Ki Sunda. Mereka berada di pelosok-pelosok padusunan yang tidak ngeh dengan kebudayaan dari luar. Biasanya, komunitas urang Sunda seperti ini terdapat di lingkungan masyarakat adat, kampung yang jauh jaraknya dengan perkotaan, dan jika dekat dengan kota, mereka punya peraturan ketat untuk terus mikukuh adat-istiadat.

 

Kedua, narasi kultural yang diwakili oleh nonoman Sunda yang telah “melek” dengan kebudayaan luar. Generasi muda Sunda ini, lahir sebagai etnik Sunda, hidup di wilayah yang banyak dihuni aneka ragam kebudayaan, hingga membentuk pola pikir yang pluralis dan melahirkan laku yang menjauh dari ajen-inajen kesundaan. Mereka, biasanya, berasal dari pelajar sekolah, mahasiswa, dan kaum tua “yang gila” dengan ideologi kapitalisme yang dibawa arus globalisasi. Mereka terbuai oleh bujuk rayu globalisasi dan meminggirkan ajen-inajen kesundaan dalam hidup kesehariannya.

 

Ketiga, narasi kultural – anu dipikareuseup kuring – yang diwakili generasi Sunda yang tersebar di seluruh pelosok negeri dan dunia, namun masih menyisakan kerinduan terhadap identitas kultural aslinya. Mereka memiliki pola pikir yang sama dengan generasi Sunda plural, karena melek dengan perangkat globalisasi (seperti HP, internet, video digital, komputer, note book, dan lain-lain); tapi punya kekhasan kultural seperti yang dipegang secara kukuh oleh masyarakat adat.

 

Istilah sosiologis untuk menyebut narasi ini oleh sosiolog kontemporer Roland Robertson (1992) disebut sebgai glokalisasi. Sebuah gerakan kultural generasi yang bisa memanfaatkan perangkat atau produk globalisasi untuk mengeksiskan identitas kebudayaan lokalnya, seperti menulis konten di website, web blog, dan media sosial di internet, dengan konten kebudayaan lokal. Mengapa itu harus terjadi? Sebab, perkembangan teknologi – seperti kehadiran komputer dan internet – menjadi keniscayaan untuk dimanfaatkan oleh masyarakat lokal dalam mengeksiskan eksistensi etnik Sunda kepada dunia. Seperti yang dilakukan oleh seorang mahasiswa Unpad, dengan memprakarsai komputerisasi aksara Sunda agar diakui dunia. Itu merupakan ijtihad kebudayaan yang sekiranya kita rojong bersama guna menciptakan Sunda yang diakui eksistensinya oleh dunia.

 

“Sundamorfosis” Istilah “Sundamorfosis” memang bisa dibilang agak klise. Istilah ini masih bisa kita perdebatkan. Secara akademis, ilmiah, dan mungkin secara filosofis. Akan tetapi, daripada menghabiskan tenaga, mendingan para budayawan sepuh Sunda yang tidak suka dengan istilah ini, melakukan upaya-upaya penanggulangan. Ini dilakukan sebelum generasi muda Sunda bermetamorfosa ke arah laku lampah yang tidak mengindahkan falsafah hidup Ki Sunda. Boleh saja kita artikan Sundamorfosis sebagai perubahan meleknya urang Sunda pada falsafah kesundaan, sehingga mereka sadar akan jati diri kebudayaannya. Yang pasti, karena perkembangan zaman ke arah yang berbeda dengan Sunda baheula, menuntut kita untuk ngigeulan dan ngigeulkeun zaman. Sebab, Sunda – sebagai falsafah hidup – mesti miindung ka waktu, mibapa ka zaman.

 

Tidak terjebak romantisme sejarah masa kejayaan kerajaan Sunda saja, tetapi melihat ke depan (futuris) untuk merumuskan Sunda masa depan yang tetap diakui dunia. Sebab, kendati hidup di zaman yang dijibuni perkembangan teknologi dahsyat, justru bakal ada generasi yang menyadari bahwa ia telah melupakan kebudayaannya. Alhasil, muncul gerakan-gerakan kesundaan dalam wajahnya yang baru. Neo-Sunda istilahnya. Anda boleh setuju atau tidak. Terserah! Jadi, kita jangan hanya pandai mencipta generasi yang Arabmorfosis dan Inggrismorfosis saja. Sementara, keaslian jati diri urang Sunda tumpur oleh dalih Indonesiamorfosis. Tapi, untuk Indonesiamorfosis bagi generasi muda Sunda memang harus diperhatikan. Sebab, kita yang tinggal di tatar Sunda adalah warga negara yang setia. “Sundamorfosis memang menarik untuk kita arahkan pada jalur yang semestinya dilalui, yakni pengaktualisasian nilai-nilai kesundaan dalam hidup keseharian untuk menyumbang pemikiran bagi bangsa Indonesia.

 

Mudah-mudahan – sebagai generasi muda Sunda – kita bisa bermetamorfosa hingga menyadari bahwa kearifan lokal ditatar Sunda terserak dan harus mulai kita punguti kembali. Dan, setelah dipunguti, tidak membuangnya ke tong sampah. Tapi, disakuan dina ati sanubari, agar laku dan kata kita saluyu dengan ajen-inajen kesundaan yang diwariskan Ki Sunda. Saya berharap para inohong, nonoman, dan kokolot Sunda bekerja ekstra keras mendidik generasi muda agar tercipta komunitas barudak ngora yang melek kesundaan. Dan, tidak anti-perubahan guna memberikan sumbangsih pemikiran untuk bangsa ke depan.■