REAKTUALISASI GERAKAN HMI-MPO MENUJU TATANAN MASYARAKAT MADANI

Oleh : Zaldy Munir

Pendahuluan
Demokratisasi adalah sebuah tatanan kehidupan umat yang ditandai dengan harmonisasi interaksi kepentingan umat tersebut secara adil dan merata. Kesadaran untuk mewujudkan hal tersebut seyogyanya dipikul bersama dalam sebuah visi yang terintegrasi walupun dengan pelaku dan profesi yang berbeda-beda. Baik dari tingkatan masyarakat awam hingga elite penguasa sekalipun.

Prinsip keterwakilan merupakan salah satu mekanisme yang banyak digunakan oleh masyarakat berbangsa di dunia ini. Hal ini disebabkan karena masing-masing individu memiliki kapasitas tersendiri dengan bidang yang berbeda-beda. Dengan kepercayaan akan kemampuan masing-masing wakil tersebutlah tergantung harapan terciptanya tujuan yang dicita-citakan secara bersama-sama.

Islam mengajarkan bahwa dengan ketauhidanlah semua harapan universal umat manusia bisa diejawantahkan. Karena dengan kesadaran tauhid yang terimplementasi dalam tiap tatanan kehidupan keumatan, hakikat kehidupan sosial bisa menjadi kenyataan. Tatanan masyarakat yang dicita-citakan Islam adalah sebuah pemerataan kesejahteraan secara menyeluruh tanpa adanya penindasan dengan prinsip pertanggungjawaban kepada Sang Pencipta.

Kesalahan Paradigma
Dalam Alquran, Allah SWT sudah mengisyaratkan bahwa manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup tanpa manusia atau makhluk lain. Sehingga dengan demikian manusia diperintahkan untuk tetap menjaga nilai-nilai luhur yang telah digariskan oleh-Nya secara bersama-sama dalam barisan yang kokoh.

Tak hanya itu, sesungguhnya ibadah-ibadah yang diajarkan oleh Sang Pencipta pun memiliki dimensi-dimensi sosial yang berguna secara langsung untuk kepentingan umat manusia. Namun, banyak di antara umat Islam yang tidak menyadari atau bahkan sengaja mengaburkan nilai-nilai tersebut ke dalam penafsiran-penafsiran yang salah. Sehingga cita-cita hakiki dari ibadah-ibadah yang telah diajarkan tidak terimplementasi secara sempurna. Dan lebih celaka lagi, klaim-klaim ibadah seringkali digunakan sebagai alat untuk mencapai nafsu keinginan secara primordial atau parokial.

Dinamika Keindonesiaan
Indonesia adalah sebuah negara dengan penduduk Islam terbesar di dunia. Sebuah negara dengan wilayah yang terbentang dari Sabang sampai Merauke dengan kekayaan alam yang tidak akan habis walaupun dikonsumsi hingga berabad-abad. Namun, di balik itu semua masih menyisakan banyaknya rakyat Indonesia yang makan nasi aking, tidak pernah mengenyam pendidikan, dan lain sebagainya yang sesungguhnya tidak pantas terjadi di sebiha negeri yang bernama Indonsia.

Fenomena-fenomena tersebut merupakan dampak dari berbagai indikator-indikator kebangsaan yang tidak berfungi sebagaimana mestinya. Pertama, Lembaga kepresidenan kita yang lemah, pemerintah tidak mempunyai visi yang jelas, dilihat dari berbagai kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat, bahkan justru berindikasi kepada penindasan, dan lain sebagainya.

Kedua, TNI yang sudah tiga dasawarsa pada masa Orde Baru sudah dijadikan tameng untuk akselerasi kebijakan yang tidak pro-rakyat, hingga saat ini masih menunjukkan arogansinya sebagai sebuah korps yang dipersenjatai. Hingga reformasi yang menginginkan dihapuskannya Dwifungsi TNI belum terealisasi secara maksimal.

Ketiga, partai politik, yang semestinya bisa dijadikan sebagai gerbong pembawa aspirasi rakyat, justru menjadi sebuah “industri” yang mengusung tema-tema pragmatisme dan kapitalisme lewat jargon-jargon keagamaan, nasionalisme, dan lain sebagainya, yang pada kenyataannya hanya sebagai lips service untuk mencapai tujuan atau kepentingan sekelompok elite partai politik saja. Hal ini mengakibatkan partai menjadi lembaga yang menghambat demokratisasi, bahkan sebagai penyebab krisis kepemimpinan yang saat ini melanda negeri ini.

Keempat, civil society berubah menjadi akomodasi kepentingan elite, sehingga banyak pemimpin kita yang sesungguhnya para pendosa di sejarah negeri ini. Sehingga cita-cita pemimpin muda yang bersih dari dosa-dosa politik dan mempunyai visi pemakmuran negeri, selalu tidak mempunyai ruang dan kesempatan, karena para pembuat kebijakan hingga saat ini masih mengedepankan kepentingan kelompok mereka saja.

Contoh-contoh persoalan di atas menjadi bagian penting yang menghambat terwujudnya cita-cita reformasi sebagai platform kehidupan berbangsa dan bernegara ke depan, tidak munculnya tokoh-tokoh muda yang revolusioner, tidak terciptanya sebuah konsolidasi nasional, atau hilangnya komitmen bersama menuju kesejahteraan rakyat secara luas. Bahkan sebaliknya, menjadikan dinamika kebangsaan dan keumatan yang saling menindas dan lain sebagainya. Di sinilah terlihat jelas, nilai-nilai Islam telah hilang dari wajah kehidupan sebuah negara dengan penduduk Islam terbesar di dunia!

Reaktulasisasi
Lengsernya Soeharto dan rezim Orde Baru merupakan salah satu bentuk “romantisme politik” antara mahasiswa dan rakyat yang selama ini terkekang oleh penindasan rezim otoritarian. Sehingga luapannya membentuk sebuah amarah rakyat Indonesia yang menginginkan sebuah tatanan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera.

Reformasi mencita-citakan sebuah tatanan berbangsa dan bernegara yang mensejahterakan. Namun, seiring dengan laju pergantian dan proses regenerasi kepemimpinan, justru terjadi disorientasi dari tujuan reformasi tersebut.

Mahasiswa, dalam konteks kekinian banyak disibukkan oleh pragmatisme, hedonisme, atau sibuk memikirkan masa depan sendiri. Sehingga tidak lagi berfungsi sebagai pengawal demokrasi dan sebagai perpanjangan tangan rakyat atas pemimpin yang lain.

Di tengah-tengah kondisi keumatan seperti ini, diperlukan penyadaran, rekonsolidasi, dan revitalisasi paradigma kehidupan agar tidak menjadi “amnesia” atas cita-cita yang selama ini diusung. Sehingga nantinya akan terjadi aktualisasi konsep dan cita-cita yang selama ini didengung-dengungkan.

Demikian beratnya problematika keumatan, sehingga dibutuhkan berbagai metode perjuangan yang tangguh oleh segala lapisan masyarakat secara bersama-sama dan tervisi.

Sejarah Singkat HMI-MPO
Sesuai dengan AD/ART-nya, nama sesungguh dari HMI-MPO adalah Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Adapun ada tambahan MPO (Majelis Penyelamat Organisasi) di belakang kata Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) adalah untuk identifikasi bahwa HMI yang ini berbeda dengan HMI yang bersekretariat di Jl. Diponegoro (atau biasa disebut denga HMI-Dipo). Penambahan istilah MPO ini lahir saat menjelang kongres HMI XVI di Padang, Sumatera Barat tanggal 24-31 Maret 1986, HMI mengalami perpecahan internal sebagai akibat dari represi dari rezim Orde Baru yang memaksakan penerapan Asas Tunggal Pancasila. HMI yang sejak semula berasaskan Islam terbelah menjadi dua kubu, yaitu antara kubu yang tetap mempertahankan asas Islam dengan kubu yang berusaha mengikuti perintah Presiden Suharto mengubah asasnya menjadi Pancasila.

Pada mulanya MPO merupakan nama sekelompok aktivis kritis HMI yang prihatin melihat HMI yang begitu terkooptasi oleh rezim orde baru. Kelompok ini merasa perlu bergerak untuk mengantisipasi intervensi penguasa pada HMI agar HMI mengubah azasnya yang semula Islam menjadi pancasila. Bagi aktivis MPO, perubahan azas ini merupakan simbol kemenangan penguasa terhadap gerakan mahasiswa yang akan berdampak pada termatikannya demokrasi di Indonesia.

Perpecahan tersebut berlangsung hingga kongres XVI, di mana kubu yang mempertahankan asas Islam akhirnya menyelenggarakan kongres sendiri di Yogyakarta. Pasca itu terbentuklah dua kepengurusan PB HMI, yaitu PB HMI yang menerima telah menerima penerapan Asas Tunggal dan PB HMI yang tetap menolak Asas Tunggal dengan tetap mempertahankan Islam sebagai asasnya. Dalam perkembangannya, pemerintah Orde Baru melakukan opresi terhadap kepengurusan HMI yang mempertahankan Islam ini, atau biasa dikenal dengan nama HMI-MPO (Himpunan Mahasiswa Islam – Majelis Penyelamat Organisasi). Selain dengan sebutan HMI-MPO, eksponen organisasi ini lebih senang menamakan dirinya sebagai HMI 1947, mengacu pada tahun pendirian HMI .

Sejak awal kemunculannya tahun 1980-an, HMI MPO tumbuh menjadi gerakan bawah tanah yang kritis terhadap kebijakan-kebijakan negara. Pada periode 90-an awal HMI MPO adalah organisasi yang rajin mengkritik kebijakan Rezim Orba dan menentang kekuasaannya dengan menggunakan sayap-sayap aksinya yang ada di sejumlah provinsi. Sayap aksi HMI-MPO yang terkenal antara lain adalah FKMIJ (Forum Komunikasi Mahasiswa Islam Jakarta) dan LMMY (Liga Mahasiswa Muslim Yogyakarta) di Yogyakarta.

Di Yogyakarta LMMY merupakan sebuah organisasi masa yang disegani selain PRD dan SMID. Aksi solidaritas untuk Bosnia Herzegovina di tahun 1990 yang terjadi di sejumlah kampus merupakan agenda sayap aksi HMI MPO ini. Aksi demonstrasi menentang SDSB ke Istana Negara dan DPR/MPR pada tahun 1992 adalah juga kerja politik dua organ gerakan tersebut sebagai simbol melawan rezim. Aksi penolakan terhadap rezim orde baru di Yogyakarta merupakan bukti kekuatan HMI MPO dimana aksi 2 dan 3 April 1998 yang menjadi pemicu dari gerakan selanjutnya di Jakarta. Pada peristiwa pendudukan gedung DPR/MPR tanggal 18-23 Mei 1998, HMI MPO adalah ormas satu-satunya yang menduduki gedung tersebut di hari pertama bersama FKSMJ dan FORKOT yang kemudian diikuti oleh ratusan ribu mahasiswa dari berbagai universitas dan kota hingga Soeharto jatuh pada 21 mei 1998.

Pasca jatuhnya Soeharto, HMI MPO masih terus demonstrasi dan aksi-aksi lainnya dalam mengkritisi kebijakan-kebijakan yang diterapkan oleh penguasa.

Pergerakan HMI-MPO
HM-MPO adalah sebuah rekonsolidasi gerakan internal untuk mengevalusai dan merumuskan strategi gerakan ke depan yang lebih aktual dan implementatif menuju tatanan masyarakat yang bertamaddun.

Dalam pergerakkannya HMI-MPO meresponsibilitas terhadap isu lokal dan nasional. Ditingkat lokal perlu adanya tatanan masyarakat bangsa dan negara yang berdaulat bebas dari cengkraman Neoliberalisasi dan kekuatan modal asing sehingga menjadi bangsa yang mandiri. Penegakan supremasi hukum serta reformasi birokrasi menjadi pilar penting dalam mewujudkan demokrasi di Indonesia.

Ditingkatan nasional HMI-MPO lebih konsen terhadap isu kejahatan korupsi, pendidikan, serta masalah lingkungan. Kejahatan korupsi yang sudah menjadi budaya kotor di semua lini masyarakat serta lambannya tindakan tegas pemerintah dalam upaya memberantas. Pembentukan lembaga-lembaga pemberantas korupsi (Komisi Pemberantas Korupsi, Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan) nyatanya tidak dapat memberiakn perubahan besar bagi pemberantasan korupsi di Indonesia. Pemerintah seakan tebang pilih dalam penanganan korupsi. Melalui kajian yang mendalam akan dampak kejahatan korupsi, maka dalam pergerakkan HMI-MPO akan tetap konsen mengkampayekan pemberantasan korupsi, baik melalui aksi demontrasi maupun aksi diskusi ilmiah.

Dibidang pendidikan HMI-MPO berkonsentrasi pada isu komerialisasi pendidikan dan kampamye pendidikan murah yang berkualitas dalam mencerdasakan kehidupan bangsa dan negara. Undang-undang SISDIKNAS tahun 2003 dinilai tidak adil dalam pemerataan pendidikan bagi rakyat Indonesia. serta Rancangan Badan Hukum Pendidikan yang mengarah pada komersialisasi pendidikan tinggi yang nantinya menyebabkan akses pendidikan semakin sulit bagi rakyat miskin.

Himpunan Mahasiswa Islam (HMI-MPO) dalam hal ini sudah menunjukkan diri sebagai salah satu potensi yang dapat diandalkan dalam upaya menuju tatanan masyarakat yang berkeadilan. Dan distribusinya baik secara kualitas maupun kuantitas dalam segala aspek kehidupan sosial sudah semestinya diperhitungkan.

Bentuk keberhasillan dalam mewujudkan sebuah tatanan masyarakat madani di Indonesia adalah dengan semakin kecilnya angka kemiskinan, pengangguran, kriminalitas, peningkatan taraf ekonomi dan pendidikan, dan lain sebagainya. Namun, semua itu hanya akan menjadi mimpi belaka manakala semua konsep-konsep yang dibangun dan berbasis kerakyatan tersebut tidak dibarengi dengan strategi yang matang dan jitu ke arah tujuan tersebut. Dan maksimalisasi fungsi mahasiswa dan kaum muda dalam tiap laju demokratisasi merupakan salah satu pilar utama yang perlu diperhatikan.***