OJEK SEPEDA, TRASPORTASI UNIK DAN BEBAS POLUSI

Oleh : Zaldy Munir

 

JAKARTA sebagai kota metropolitan dan juga sebagai pusat dari aktifitas masyarakat. Di sini beragam pekerjaan dapat dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Di kota ini pula mempunyai beragam macam cerita. Bahkan alat transportasi di kota ini pun beragam, mulai dari yang modern, seperti Busway hingga yang tradisional, seperti ojek sepeda. 


Ojek sepeda, sudah marak menghiasi sudut Utara Ibu Kota Jakarta sejak tahun tujuh puluhan. Dahulu transportasi yang satu ini digunakan sebagai alat transportasi utama, tapi di era Milinium seperti saat ini mulai di lupakan. Untuk saat ini, transportasi yang unik dan jarang ditemukan dapat kita nikmati di Terminal Tanjung Priuk atau di perempatan Stasiun Jakarta Kota.


Tak pernah terbayangkan sebelumnya oleh Azin akan menggeluti profesi yang sudah mencapai genera ke tiga dari keluarganya. Pekerjaan yang ia tekuni untuk sebagaian masyarakat memang jarang mendapat perhatian.


Namun bagi Azin lelaki kelahiran Kebumen 14 Juli 1973 tak ada pilihan lagi selain menjadi pengojek sepeda. Di kota ini ia bermukim di daerah pasar ikan Jakarta Utara, dengan ditemani oleh sang istri tercinta dan kedua anaknya.


Azin menekuni profesi yang satu ini baru tiga tahun, sebelumnya ia sempat bekerja sebagai kulir di Mangga Dua. Karena penghasilannya kurang memuaskan lantas ia pindah profesi menjadi tukang ojek sepeda. Sepeda ontel yang ia dapat pun dari kawan seprofesinya dengan harga Rp. 250 ribu. ”Dulu saya kerja di Mangga Dua sebagai kulir, tapi karena gajinya kecil dan terikat dengan waktu jadinya saya keluar aja. Enakan di sini, kerjanya yang nggak terikat waktu,” tutur Azin seraya menghisap sebatang rokok Filter yang terselip jelas di jari tangannya.


Tepat di depan Musium Bank Mandiri ia biasa mangkal. Sang mentari nyaris tahu semua kebiasaan lelaki yang berbadan gempal ini. Panas matahari menyengat di kepala dan angin berembus pelan seperti tak ada artinya. Hanya sebatang rokok yang menempel di bibirnya, asap yang mengepul di mulutnya ditiup keras, terbang ke setiap penjuru dibantu dengan angin yang bertiup pelan. Mungkin dibutuhkan kesabaran dan keikhlasan dalam menjalankan profesi yang satu ini.


Biasanya ia mulai bekerja dari jam 6 pagi hingga jam 6 sore. Dalam sehari ia mengantongi uang sebasar Rp. 20 ribu sampai 50 ribui. Uang yang diperolehnya untuk makan, membayar kontrakan, dan sebagian lagi disisihkan untuk istri dan anak-anaknya.


Azin mulai kebanjiran penumpang pada jam-jam kerja, yaitu pada jam 7 pagi hingga jam 9 pagi. Cukup mengherankan memang bagi Azin dengan kehadiran Busway bukan sebagai kendala ataupun musibah, tetapi menjadi ’keberkahan’ tersendiri buatnya. ”Dengan kediran Busway ini menurut saya menjadi ’keberkahan’ sendiri, para penumpang yang turun biasanya naik ojek sepeda,” ujarnya Bapak dari Iwan, dan Yuni ini.


Dengan masih beroperasinya ojek sepeda, maka akan menjadi salah satu sarana transportasi yang efektif serta menjadi suatu cerminan pada pengurangan tingkat polusi di Ibu Kota.■