HOME SCHOOLING (Sekolah-Rumah, Pilihan untuk Kembangkan Potensi Anak)

Oleh : Zaldy Munir

Pendahuluan

Home Schoolong merupakan pendidikan alternatif yang bekerjasama dengan Dinas Pendidikan Luar Sekolah Depdiknas, yakni Program Kesetaraan Nasional. Kurikulumnya pun sama dengan Diknas, namun pola pendidikan melalui model ‘home schooling’.

Pendidikan ini dirancang untuk membantu anak-anak kurang mampu. Mereka bisa belajar di sini dan mendapatkan ijasah, ‘home schooling’ adalah metode baru dalam dunia pendidikan, di mana para murid tidak diharuskan masuk kelas, tetapi cukup mengikuti proses belajar mengajar dengan kendaraan mobil dinas. Bahkan, guru-guru siap membantu mereka yang mengalami kesulitan belajar.

“Home schooling menjemput anak untuk sekolah, bukan anak yang datang ke sekolah. Tetapi guru datang ke anak. Model Sekolah Rumah Home Schooling terus mendapat perhatian dari para praktisi pendidikan hingga orang tua. Model pendidikan ini dianggap lebih “manusiawi” bagi peserta didik dibanding pendidikan formal yang ada. Di sisi lain, standar materi dan pola pengajaran masih menimbulkan tanda tanya.  Benarkah Sekolah Rumah merupakan pilihan terbaik di tengah kebimbangan akan mutu pendidikan formal di negeri kita?

Hak anak untuk mendapat pengajaran harus diperhatikan. Para orang tua harus bijaksana dalam melihat dan memperlakukan anak sebagai sebuah pribadi unik yang perlu dihormati. Kurikulum sekolah rumah yang disusun bersama berdasarkan acuan yang ditentukan Depdiknas akan memunculkan motivasi belajar pada anak. Belajar sepanjang hari tidak menjadi beban karena dibalut dalam kemasan bermain. “Anak-anak jadi senang belajar dengan motivasi internal, yaitu motivasi dari anak itu sendiri. Sehingga kegiatan belajar home schooling ini bisa dimana saja dari bangun tidur sampai tidur lagi. Terpenting, anak-anak dilibatkan untuk menyusun kurikulumnya dan mencari sumber belajar.

Di samping itu, memindahkan anak-anak dari sekolah secara permanen menjadi tantangan tersendiri bagi penyelenggara home schooling alias sekolah-rumah. Bagi masyarakat kita, ijazah masih menjadi satu-satunya modal untuk meningkatkan taraf hidup. Apalagi dalam beberapa tahun terakhir ini sumber daya sekolah di Indonesia diarahkan untuk selembar ijazah yang diperoleh dengan sistem penilaian sesaat untuk menentukan kelulusan.

Belajar tiga tahun di sekolah menengah seolah tidak berarti apa pun dalam menentukan kelulusan dari sekolah. Akibatnya, guru-guru, sekolah, bahkan dinas terkait mengarahkan anak-anak untuk mengejar nilai akhir. Jika demikian halnya, apa jadinya anak-anak bangsa di masa depan?

Sejatinya, pemenuhan hak atas pendidikan menjadi komitmen pemerintah. Demikian juga dengan upaya penyatuan berbagai komitmen global untuk mencapai pendidikan untuk semua education for all.

Pembahasan

Model Pembelajaran yang Kondusif

Pilihan untuk menyelenggarakan sekolah rumah oleh orang tua memang harus memiliki dasar kuat. Model pembelajaran yang sesuai dengan keinginan dan kebutuhan anak harus menjadi sebab utama pilihan tersebut.

Menurut Direktur Pendidikan Kesetaraan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) Ella Yulaelawati, seperti dikutip dari sebuah situs internet, sekolah rumah merupakan proses layanan pendidikan yang secara sadar, teratur dan terarah dilakukan orang tua atau keluarga di mana proses belajar mengajar berlangsung dalam suasana kondusif. Proses ini memiliki tujuan, yaitu agar setiap potensi anak yang unik dapat berkembang secara maksimal.

Beberapa alasan menyebabkan orang tua memilih sekolah rumah. Di antaranya dapat menyelenggarakan pendidikan keagamaan secara lebih intensif, menciptakan suasana pembelajaran yang baik serta pembelajaran dapat diatur sesuai kebutuhan dan situasi saat itu.

Model sekolah rumah ini juga terlihat unggul karena kegiatan pembelajaran dilakukan secara lebih mendalam, terangkai dengan kegiatan sehari-hari. Selain itu, waktu belajar yang luwes disesuaikan dengan keinginan dan kesiapan orang tua dan anak yang bersangkutan.

“Menyelenggarakan sekolah rumah menuntut kemauan orang tua untuk belajar, menciptakan pembelajaran yang kreatif dan menyenangkan dan memelihara minat dan antusiasme belajar anak. Sekolah rumah juga memerlukan kesabaran orang tua, kerja sama antaranggota keluarga dan konsisten dalam penanaman kebiasaan,” ujarnya.

Pakar pendidikan Universitas Negeri Jakarta, Arief Rahman Hakim menyebutkan tiga syarat penting yang harus dimiliki orang tua untuk menjalankan sekolah rumah. Pertama, syarat akademis dengan memiliki latar belakang pendidikan yang cukup. Kedua, syarat psikologis yakni mempunyai jiwa pendidik. Ketiga, syarat Pedagogis atau keahlian menularkan pengetahun kepada orang lain juga menjadi hal penting. Pelaksana sekolah rumah juga dituntut memiliki program pelajaran dan sistem evaluasi yang jelas.

Kak Seto pun segendang sepenarian. Menurutnya, praktek sekolah rumah memang tidak segampang yang dibayangkan. Jangan sampai terjadi, penyelenggaraan sekolah rumah hanya sebagai aksi gagah-gagahan saja. Orang tua yang akan menjalankan model sekolah rumah dituntut memahami dengan baik arti pendidikan.

“Makna pendidikan adalah memberdayakan potensi unggul yang dimiliki setiap anak yang saling berbeda. Orang tua harus memiliki komitmen terhadap pelaksanaan sekolah rumah itu. Mereka harus mempelajari kurikulum, menjabarkannya secara kreatif sesuai kondisi anak. Mampu menjalin kerja sama yang baik dengan anak maupun pihak-pihak lain termasuk jaringan sekolah rumah,” katanya membagi resep menyelenggarakan sekolah rumah.

Diakuinya pula, ada beberapa mitos keliru yang berkembang di masyarakat soal sekolah rumah ini. Misalnya anak menjadi kurang mendapat kesempatan sosialisasi dengan teman, orang tua harus menjadi guru dengan pengetahuan yang luas, waktu belajar yang tidak sepadan dengan sekolah formal, anak menjadi tidak disiplin, tidak bisa memperoleh ijazah formal, anak kurang mampu berkompetisi serta tidak dapat melanjutkan ke jenjang sekolah formal yang lebih tinggi. Ditambah lagi sekolah rumah mensyaratkan biaya operasional yang tinggi alias mahal.

Namun Kak Seto menampik kebenaran isu itu dan menyebutnya sebagai kekeliruan. Belajar Bersama Hal penting yang harus dipegang teguh betul oleh orang tua saat menyelenggarakan sekolah rumah adalah memahami anak. Saat belajar, orang tua harus menjadi teman belajar bagi anak. Anak harus dipahami sebagai pribadi unik, otentik dan bukan orang dewasa mini. Pada usia itu, anak perlu bermain. Karenanya, orang tua tidak boleh arogan dengan memposisikan sebagai guru. Orang tua harus mengembangkan konsep belajar bersama dengan anak.

Berkaitan dengan materi pembelajaran, orang tua juga harus mau membuka diri dengan menambah pengetahuannya. Namun hal ini tidak mengharuskan orang tua menguasai semua jenis ilmu pengetahuan. Jika diperlukan, mereka dapat mendatangkan guru untuk mata pelajaran yang bersangkutan dan belajar bersama dengan anak. Dengan demikian anak merasa memiliki sahabat saat belajar dan tidak merasa rendah diri.

Materi pembelajaran sekolah rumah, lanjut Kak Seto, sebaiknya mengacu pada standar kompetensi Depdiknas. Hal ini dimaksudkan agar sesuai dengan perkembangan anak dan dapat mengikuti evaluasi dan ujian hasil belajar yang diselenggarakan Depdiknas secara nasional. Standar kompetensi ini menjadi panduan tentang kemampuan akademis yang harus dimiliki anak pada kelas tertentu.

Evaluasi terhadap hasil kegiatan belajar anak dalam sekolah rumah dapat dilakukan lewat ujian Paket A setara Sekolah Dasar (SD) atau Paket B Setara SMP. Bahkan, menurut Kak Seto, evaluasi dapat dilakukan dengan menginduk pada sekolah formal. Alasannya, sekolah rumah juga diatur dan sesuai dengan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).

Sesuai UU Sisdiknas, pendidikan non formal dapat menjadi pengganti, penambah atau pun pelengkap pendidikan formal. Sedangkan satuan pendidikan non formal itu bisa berbentuk lembaga kursus, pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, majelis taklim dansatuan pendidikan sejenis.

Direktorat Pendidikan Kesetaraan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) saat ini sedang menyusun acuan penyelenggaraan pendidikan alternatif dan sekolah rumah home schooling. Hal ini, tambah Ella, dikarenakan sekolah tidak selalu bisa merambah seluruh komunitas terutama masyarakat marjinal, etnis minoritas, masyarakat terisolir secara geografis atau mereka yang memiliki keyakinan tertentu.

Home Schooling” Alternatif Pendidikan Non-formal dan Beberapa Klarifikasi Format Home Schooling

‘Home Schooling’ menjadi alternatif pilihan pendidikan nonformal bagi anak-anak yang enggan belajar secara formal di kelas. “Pendidikan ini dapat dilakukan di mana saja dan membuat anak merasa bebas tanpa ada paksaan,” kata Pendiri Home Schooling Kak Seto atau nama lengkapnya Seto Mulyadi. Dia mengatakan keputusan untuk mengikuti home schooling ini haruslah sepenuhnya dari keinginan anak, tanpa paksaan dari orang tua.

Menurut dia, kesuksesan untuk dapat menjadi guru yang baik bagi anak-anak adalah dengan cara bersabar, mengajarkan tanpa paksaan, dan dengan bahasa yang lembut. “Tidak perlu dengan paksaan dan suara tinggi. Lakukan dengan senyum, maka mereka akan senang,” katanya. Dia mengatakan ada beberapa klarifikasi format home schooling yang diperkenalkan, yakni home schooling tunggal yang hanya dididik oleh orang tua, home schooling majemuk yang dilaksanakan dua atau lebih keluarga untuk kegiatan tertentu, sementara kegiatan pokok tetap dilaksanakan oleh orang tua masing-masing.

Dan terakhir, dia menyebutkan komunitas home schooling yang merupakan gabungan beberapa home schooling majemuk yang menyusun dan menentukan silabus, bahan mengajar, kegiatan pokok seperti olahraga, musik dan seni, serta sarana dan jadwal pembelajaran.

Salah seorang murid Kak Seto yang juga memiliki home schooling untuk balita, Shelomita, mengatakan terkadang orang tua tidak yakin dapat menjadi guru yang baik bagi putra-putrinya sendiri. Menurut Shelomita, pada awalnya dia juga merasa khawatir apakah mampu untuk menjadi guru bagi anak-anaknya. Namun, akhirnya dengan kepercayaan diri sanggup menjadi guru sekaligus orang tua bagi anak-anaknya. Alasan dia membuka home schooling untuk balita, yaitu ingin memberi kebebasan pada anak-anak, tapi tetap dapat belajar.

Sekolah Rumah, Siapa Mau Coba?

Seto Mulyadi atau Kak Seto sudah lama mempraktekkan home-schooling atau sekolah rumah bagi anak-anak. Konsep sekolah rumah memang unik. Menurut Kak Seto, keluarganya menerapkan sekolah rumah bagi anak-anaknya sejak tiga tahun lalu. Awalnya, Minuk, anak pertama, mengalami tekanan di sekolah karena dihukum gurunya ketika masih duduk di bangku sekolah menengah pertama favorit di Jakarta.

“Lalu dia menyampaikan pada ibunya. Mula-mula dipaksa ibunya. Tetapi tetap tidak mau, dan mengatakan lebih baik saya ke sekolah tapi tidak belajar, atau saya di rumah tapi saya belajar? Akhirnya, ya sudah, dengan mengingat hak anak, mengedepankan yang terbaik bagi anak, akhirnya saya beri kesempatan Minuk tetap berada di rumah. Tetapi dia menjalankan aktivitas belajarnya,” Kak Seto menjelaskan ihwal mula mempraktekkan sekolah rumah.

Menurut Kak Seto, berkat konsep sekolah rumah dengan kurikulum yang disusun bersama, motivasi belajar muncul dari dalam diri putrinya. Belajar sambil bermain, membuat anak merasa nyaman, meskipun belajar sepanjang hari.

“Anak-anak jadi senang belajar dengan motivasi internal, motivasi dari anak itu sendiri. Sehingga kegiatan home schooling ini, jika ditanya kapan belajarnya, dari bagun tidur sampai tidur lagi. Di mana belajarnya? Di mana saja! Bisa di kamar tidur, ruang tengah, kamar tamu, di halaman, atau juga di luar. Entah pergi ke sawah, ke panti asuhan, penitipan bayi-bayi telantar, sampai mungkin juga belajar di mall. Tapi yang penting, anak-anak dilibatkan untuk menyusun kurikulumnya, mencari sumber belajar,” Kak Seto menambahkan.

Bagi Dhea, belajar di rumah sangat menyenangkan. Ia mengaku ingin terus belajar di rumah sampai menyelesaikan pendidikan setara sekolah menengah umum. “Kayaknya, seterusnya sampai SMP, SMA, sampai kapan aja gitu. Aku pingin home schooling. Soalnya waktu itu ngeliat Kak Minuk, terus jadi gimana gitu. Sekolah formal, aku takut! Kayaknya, Kak Minuk sampai stres waktu itu. Waktu kelas SMA, kayaknya, sempet stres. Terus aku nggak mau, mau terus home scholing aja,” tutur Dhea.

Bagi kebanyakan orang, menempuh pendidikan formal masih merupakan pilihan utama. Bahkan, lembaga pendidikan formal yang tergolong favorit masih jadi incaran kebanyakan siswa dan orang tua. Vanny, misalnya. Siswa SMU 70 Jakarta Selatan ini tetap memilih belajar di sekolah formal. Bagi dia, masuk salah satu SMU favorit di Jakarta merupakan cita-citanya sejak dulu. Dengan masuk SMU favorit, Vanny berharap peluang untuk belajar di perguruan tinggi ternama akan lebih terbuka.

“Di rumah tuh gak punya temen, ya jadi gak bergaul aja. Trus biasanya kualitasnya kan beda kalau sekolah di rumah. Kalau di sekolah kan ada kurikulumnya, gitu. Kalo di rumah kan gak jelas, gitu. Gak mau karena kebanyakan sekolahnya di sekolah, bukan di rumah,” kata Vanny. Begitu juga Danista, rekan Vanny. Dia justru menikmati belajar di sekolah formal dan mengaku bosan tinggal di rumah. Dia sama sekali tidak ingin belajar di rumah. “Ngapain di rumah juga. Di rumah bosenlah,” jelasnya.

Randi, pelajar SMU yang lain, juga demikian. Baginya, belajar di rumah bukan hal yang menyenangkan. Kata Randi, ada hal yang tidak didapat di rumahnya, yaitu pertemanan. Baginya, sosialisasi dengan teman-teman di sekolah merupakan kebutuhan yang penting.

“Belajar di rumah ya gak enak aja. Kalo di sekolah formal gini, selain belajar, kayak ada pergaulannya, gitu….” kata Randi. Pemerintah sendiri mengakui keberadaan sekolah rumah sebagai salah satu jalur pendidikan yang sah. Menurut Direktur Pendidikan Kesetaraan Departemen Pendidikan Nasional, Ella Yuleawati, Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional membuka banyak jalur pendidikan yang bisa ditempuh, termasuk sekolah rumah.

Tetapi Ella juga mengingatkan, untuk menjalankan konsep sekolah rumah, orang tua harus memiliki komitmen yang kuat. Banyak orang tua yang tidak memiliki komitmen yang kuat dalam mempraktekkan sekolah rumah, sehingga tidak membimbing anaknya secara maksimal. Kesibukan orang tua juga merupakan salah satu hambatan dalam mendidik anak.

“Saya katakan, itu pendidikan informal sekolah rumah, kalau masyarakat memilih itu, apakah betul? Itu tidak mudah loh. Sekarang ini mungkin orang sangat terkesima begini begitu. Berpikirnya mudah, kayak jadi trend seter, gitu. Kalau sekolah rumah, tinggal hati-hati. Saya sendiri belum tentu, memang saya belum tentu. Tapi, saya memang tidak bisa. Kan anak saya dua-duanya di ITB dengan bantuan sekolah formal,” kata Ella.

Mendidik sendiri anak di rumah bukan perkara gampang. Menurut pakar pendidikan Universitas Negeri Jakarta, Arief Rahman Hakim, orang tua yang ingin menjalankan konsep pendidikan rumah harus memenuhi tiga syarat. Pertama, syarat akademis, yaitu memiliki latar belakang pendidikan yang cukup. Kedua, syarat psikologis, yaitu memiliki jiwa pendidik. Ketiga, harus memiliki syarat pedadogis, yaitu keahlian menularkan pengetahuan kepada orang lain. Selain itu, menurut Kepala Lab School di Rawamangun ini, praktisi sekolah rumah juga harus memiliki program pelajaran dan sistem evaluasi yang jelas.

“Saya tidak mengatakan setiap orang itu bisa atau tidak, tapi kalau mau melaksanakan home schooling, ketiga syarat itu harus dipenuhi,” katanya. Kriteria seperti yang disampaikan Arief Rahman Hakim memang dimiliki Deviana, istri Kak Seto. Menurut Deviana, dia memiliki program yang jelas dan mendidik anaknya berdasarkan kurikulum nasional. Dia juga mengaku menerapkan sistem evaluasi untuk mengukur capaian yang ditempuh kedua putrinya. “Saya pakai cara saya sendiri. Sudah mengerti apa belum, misalnya, sambil bermain juga kadang mereka buat soal. Oh, mereka sudah mengerti soal ini. Kalau sudah bisa buat soal, berarti sudah mengerti. Jadi, mereka kadang membuat soal. Menyerapnya lebih dari yang diajarkan. Tidak formal pakai angka. Yang penting standarnya sampai, standar kurikulum nasional,” kata istri Seto Mulyadi ini.

Bagi Kak Seto, mempraktekkan sekolah rumah memang tidak gampang. Dia mengingatkan kepada semua orang tua yang akan menjalankan praktek sekolah rumah agar memahami benar makna pendidikan. Walaupun kini banyak kalangan kelas terdidik di Jakarta yang menerapkan sekolah rumah, dia mengingatkan jangan sampai sekolah rumah sekadar menjadi gagah-gagahan.

“Pertama harus memahami makna dari pendidikan. Bukan sekadar menjejalkan beragam informasi atau pelajaran kepada kepala yang seolah-olah kosong. Tapi makna pendidikan adalah justru mengeluarkan atau memberdayakan potensi-potensi unggul yangg dimiliki oleh setiap anak yangg saling berbeda.  Kedua, punya komitmen, bahwa ortu yang jadi koordinator dan fasilitator dari kegiatan sekolah rumah. Penaggung jawab adalah tetap ortu. Berarti mempelajari isi kurikulum. Kemudian juga mencoba untuk menjabarkan secara kreatif sesuai dengan kondisi anak-anak yang saling berbeda. Kemudian harus mampu bekerja sama baik dengan anak maupun dengan pihak-pihak lain, termasuk jaringan sekolah rumah,” Kak Seto memberi kiat bagi orang tua yang ingin membuat sekolah rumah.

Sekolah rumah atau home schooling tampaknya sudah menjadi alternatif di tengah-tengah buruknya sistem pendidikan formal. Beberapa selebritas, seperti Neno Warisman, juga mempraktekkan sekolah rumah untuk anak-anaknya. Dewi Hughes yang belum mempunyai anak tapi peduli pada dunia pendidikan pun tertarik. Mereka bahkan membentuk Asa Pena, asosiasi sekolah rumah, sebagai wadah bertukar informasi sesama praktisi sekolah rumah.

Berbagai permasalahan yang terus-menerus menerpa sistem pendidikan nasional ? mulai dari kurikulum yang berganti-ganti, pro-kontra ujian nasional dan penentuan kelulusan, sistem penerimaan siswa baru, mahalnya biaya pendidikan dan masalah-masalah lain-menyebabkan banyak orang tua semakin ragu menyerahkan pendidikan anaknya kepada insitusi sekolah. Bahkan kondisi yang paling dikhatirkan para orang tua adalah ketidakmampuan sekolah dalam mangakomodir kemampuan unik masing-masing siswa secara individu, menyamakan semua siswa sehingga siswa-siswa yang menunjukkan perbedaan justru dikerdilkan. Hal ini tidak lain dikarenakan beban kurikulum yang harus diselesaikan dalam jangka waktu tertentu sehingga hampir tidak ada waktu untuk memberi perhatian lebih kepada perbedaan masing-masing siswa.

Para orang tua yang tidak puas dengan sistem pendidikan yang diterapkan sekolah, akhirnya mencari alternatif diluar sekolah formal. Salah satu metode pendidikan yang sudah banyak diterapkan diluar negeri, dan mulai banyak dilirik para orangtua di Indonesia adalah home schooling .

Homeschooling merupakan pendidikan berbasis rumah, yang memungkinkan anak berkembang sesuai dengan potensi diri mereka masing-masing. Teori multiple intelligent atau kecerdasan majemuk telah membuka mata kita bahwa ada begitu banyak cara untuk membuat anak-anak memahami suatu materi pelajaran. Kita harus menyadari bahwa anak–anak ini mungkin bisa belajar dengan sangat baik dengan cara mereka sendiri. Pada umumnya kita? pendidik, orang tua, dan sebagainya–hanya peduli pada kemampuan dalam arti yang paling tradisional dan akademis ? membaca, menulis, mengeja, IPA, IPS dan matematika dalam bentuk buku pelajaran dan lembar latihan standar serta belajar dengan cara duduk manis di dalam kelas dan mendengarkan guru berceramah. Padahal ada begitu banyak potensi dalam seorang anak yang tidak bisa dinilai hanya dengan cara-cara seperti itu. Hal-hal seperti inilah yang mendasari banyak orang tua untuk meng- homeschooling anak-anak mereka.

Homeschooling memberi banyak keleluasaan bagi anak-anak untuk menikmati proses belajar tanpa harus merasa tertekan dengan beban-beban yang terkondisi oleh target kurikulum. Seorang home schooler bisa saja hanya meluangkan beberapa menit mengerjakan lembar kerja matematika tetapi bisa berbulan-bulan asyik meneliti satu spesies serangga. Hal ini tentu saja tidak mungkin terjadi di sekolah formal.

Orang tua pun tidak harus menjadi orang yang tau segalanya untuk bisa meng- home school anaknya. Bahkan yang terpenting dalam home schooling adalah penanaman sikap mental belajar kepada anak-anak sehingga mereka bisa belajar dengan cara mereka sendiri serta belajar dari siapa saja dan apa saja. Mereka bisa belajar mencampur semen kepada tukang bangunan, belajar memerah susu kepada peternak sapi, belajar mengolah sawah kepada petani, belajar berjualan kepada pedagang, mereka bahkan bisa berdiskusi dengan para pakar ilmiah universitas ternama dunia serta bisa membantu para ilmuwan NASA untuk mempelajari batuan di mars dan berinteraksi dengan para astronotnya. Hal-hal tersebut sangat minim bisa dilakukan oleh siswa sekolah formal karena kesibukan mereka mengerjakan peer, belajar untuk ulangan, les dan sebagainya, yang belum tentu mereka nikmati secara aktif dari dalam hati mereka.

Satu pertanyaan yang sering muncul adalah, jika tidak bersekolah formal, lalu bagaimana dengan ijazahnya? Di Amerika, home schooling telah diakui secara formal dan masuk dalam undang-undang, sehingga untuk ijazah hampir tidak ada masalah. Sedangkan di Indonesia, kini telah dibentuk ASAH PENA (Asosiasi Sekolah Rumah dan Pendidikan Alternatif) yang dimotori tokoh-tokoh pendidikan nasional, seperti Kak Seto, M. Fauzil Adhim, Dewi Hughes, dan sebagainya, serta dibina Departemen Pendidikan Nasional bidang Pendidikan Luar Sekolah. Walaupun secara formal belum ada undang-undang yang mengatur home schooling, tetapi home schooler bisa mengikuti ujian persamaan yang diadakan oleh Depdiknas secara berkala. Bahkan ijazah dengan akreditasi internasional bisa diperoleh melalui lembaga-lembaga formal di Eropa dan Amerika melalui ujian jarak jauh.

Telah banyak tokoh-tokoh dunia lahir dari home schooling, seperti Albert Einstein, Alexander Graham Bell, Agatha Christie, Thomas A. Edison, George Bernard Shaw, Woodrow Wilson, Mark Twain, Charlie Chaplin, Charles Dickens, Winston Churchill, K.H. Agus Salim, dan sebagainya. Seorang anak muda Amerika, Christopher Paolini (22 tahun), penulis novel laris Eragon (telah diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia), adalah seorang home schooler. Di usia 15 tahun, ia telah menyelesaikan home schooling setingkat SMU dan mendapatkan ijazah. Ia diterima di salah satu universitas di negaranya, tetapi ia memutuskan untuk tidak segera mengikuti perkuliahan karena waktunya ia fokuskan untuk menyelesaikan novel fantasi, Eragon. Novel ini terjual ribuan kopi di Amerika dan diangkat ke dalam layar lebar. Kini ia sibuk berkeliling mempromosikan novelnya dan sekaligus mempromosikan home schooling. Begitu banyak anak-anak home schooler yang berhasil di berbagai bidang. Jadi, home schooling ? Siapa takut ?

Sekolah-Rumah, Pilihan untuk Kembangkan Potensi Anak

Empat anak berjongkok mengitari gundukan tanah dan pasir di kawasan Sekolah Lanjutan Perwira Polri di Jakarta Selatan. Usianya tidak seragam, malah ada yang masih lima tahun.

Begitu air dituang, gundukan pasir itu longsor. “Ya,… rusak deh. Sayang, ya…,” komentar seorang anak. Semua tampak antusias memelototi longsoran pasir.

“Ayo, bayangkan kalau ada orang yang tinggal di lereng gunung itu,” kata Agus. Rupanya, terkait Hari Bumi, 22 April lalu, anggota Home schooling Kak Seto tengah belajar dengan tema terkait lingkungan hidup.

Sehari-hari anak-anak yang sedang menempuh pendidikan dasar itu, sesuai dengan namanya, home schooling atau sekolah- rumah, belajar di rumah masing-masing. Hanya dua kali seminggu mereka berkumpul di Knowledge Center Selapa Polri, Jakarta Selatan, untuk belajar berkelompok dengan tutor mereka. Tiga hingga empat anak bisa dikawal dua tutor. Tak ada ruang kelas yang sesak, apalagi membosankan lantaran mereka belajar di “pusat pengetahuan” yang dilengkapi toko buku, perpustakaan, kafe, dan internet.

Anak-anak juga tidak dipisahkan dalam kelas-kelas tertentu. Semua belajar bersama sesuai dengan tema pembelajaran yang diinginkan hari itu. Tentu saja tidak ada seragam sekolah. Siang hari giliran anak-anak yang sudah setara SMA mulai berkelompok. Mereka sedang sibuk mengerjakan proyek membuat herbarium, lalu dijadwal berangkat ke lapangan, yaitu ke sebuah panti jompo.

Ny Nur Indah Himawati dengan sadar memilih model sekolah-rumah bagi anaknya, Bintang Haikal (5). “Saya lihat kemampuan Bintang sudah lebih dari umurnya. Umur tiga tahun dia sudah bisa membaca, menggunakan komputer, kamera, dan handycam. Kalau masuk SD tidak diperbolehkan karena umurnya belum cukup. Lagi pula saya tidak bekerja dan mengurus Bintang sendiri. Jadi, saya punya waktu banyak untuk belajar bersama Bintang di rumah,” tutur Nur Indah, yang tinggal di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara.

Menurut Munasprianto Ramli, ketua tutorial Home schooling Kak Seto, tutorial di komunitas tersebut untuk memperdalam materi akademis. Setelah itu, anak dan keluarga mengeksplorasi dan memperdalam materi sendiri di rumah.

Belajar di rumah bukan berarti tidak serius. Bintang Haikal, misalnya, punya jadwal belajar piano, Matematika, dan Bahasa Inggris. Sekarang, Ny Nur Indah sedang mencari kursus animasi atas permintaan Bintang.

“Saya hanya ingin potensi, minat, dan bakat Bintang berkembang. Hanya dengan homeschooling ini Bintang bisa akselerasi,” ujar Nur Indah.

Belakangan, model sekolah- rumah mulai tidak asing dan menjadi pilihan orang tua. Di dunia maya, bertebaran berbagai blog, situs, dan mailing list tempat para homeschooler bertukar informasi; mulai dari perkembangan kegiatan anak-anak mereka sehari-hari hingga berbagai kurikulum atau materi.

Sekolah-rumah bisa dilaksanakan secara tunggal oleh keluarga itu sendiri atau bergabung dalam komunitas belajar. Komunitas yang telah terbentuk antara lain Morning Star Academy, Komunitas Home schooling Berkemas, Home schooling Kak Seto, dan KerLip. Ada pula asosiasi para homeschooler.

Belakangan, artis Dewi Hughes meluncurkan sekolah- rumah berbasis elektronik pertama di Indonesia, Hugheschooling. Selain pembelajaran dengan materi pendidikan akademik, juga disediakan materi non-akademik dalam bentuk exploration, advancement, dan project yang disesuaikan dengan bakat dan minat anak.

Sekjen Sekolah-Rumah dan Pendidikan Alternatif (Asah Pena) Dhanang Sasongko mengatakan bahwa sekolah-rumah menjadi tren pendidikan saat ini. Konsep dari model pendidikan itu ialah mengedepankan perkembangan potensi, bakat, dan minat anak secara spesifik.

Penanganan Individual

Anak mendapatkan penanganan secara individu. Mereka menyusun sendiri pembelajaran. Ada juga keluarga yang mengacu pada kurikulum tertentu, seperti Cambridge, dan kemudian memilih ikut ujian internasional. Mendidik anak dengan sekolah-rumah merupakan sebuah pilihan, tanpa bermaksud membuat tandingan sekolah formal.

Sekolah-rumah sendiri bukan tanpa segudang pertanyaan. Yang biasanya muncul ialah terkait sosialisasi anak dengan dunia luar dan legalitas. Bagi Dhanang, sekolah-rumah bukan berarti steril dari masyarakat.

“Kita sering mengadakan kegiatan di luar, seperti ke pasar dan panti-panti. Itu untuk pendekatan mereka dengan masyarakat. Dalam pembelajaran, mereka juga tidak hanya diajar oleh orangtua atau saat di komunitas oleh tutor, sering kali mereka mendatangi langsung ahlinya,” kata Dhanang.

Bagi Direktur Pendidikan Kesetaraan pada Ditjen Pendidikan Luar Sekolah Ella Yulaelawati, tumbuhnya sekolah-rumah sejalan dengan kesadaran dan kesiapan keluarga untuk memberikan layanan pembelajaran bagi anak-anaknya di dalam rumahnya sendiri. Sekolah-rumah merupakan salah satu satuan pendidikan kesetaraan. Pilihan ini merupakan hak orangtua yang dijamin peraturan perundang-undangan, asal melaksanakan pendidikan sejalan dengan makna pendidikan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

“Sebenarnya kita tidak usah saling mempertentangkan antara pendidikan formal dan nonformal. Masing-masing punya segmen khusus. Yang penting bagaimana supaya pembelajaran itu bisa terjadi kapan dan di mana saja, tanpa kendala apa pun. Ini juga untuk mendukung pembelajaran sepanjang hayat,” kata Ella.

Akan tetapi, walaupun pendidikan di dalam rumah sebagai pendidikan informal merupakan kewenangan penuh keluarga / orang tua, dalam rangka menjamin terpenuhinya hak pendidikan dan perkembangan anak, orangtua yang akan menyelenggarakan sekolah–rumah diwajibkan melaporkan kepada pemerintah. Penyelenggara sekolah–rumah tetap perlu mendaftarkan komunitas belajar pada bidang yang menangani pendidikan kesetaraan, yaitu dinas pendidikan kabupaten/kota setempat.

Di negara tertentu ada juga yang diwajibkan menandatangani kesepakatan antara orang tua dan pemerintah. Intervensi pemerintah ini dilakukan dalam rangka menjamin kualitas layanan pendidikan yang akan diberikan di rumah, sejalan dengan tingkat kompetensi yang harus dicapai anak sesuai dengan jenjang pendidikan yang diikutinya. Pemerintah juga memfasilitasi terselenggaranya ujian nasional bagi peserta yang terdaftar di komunitas belajar.

Agar kegiatan sekolah-rumah bisa memperoleh penilaian dan penghargaan melalui pendidikan kesetaraan, perlu ditempuh langkah-langkah pembentukan komunitas belajar, yaitu mendaftarkan kesiapan orang tua/ keluarga untuk menyelenggarakan pembelajaran di rumah/ lingkungan kepada komunitas belajar dan berhimpun dalam satu komunitas. Dengan adanya komunitas seperti ini memudahkan mendata peserta didik sekolah-rumah dan memfasilitasi mereka untuk ikut pendidikan kesetaraan Paket A, B, dan C.

Sebagai lembaga pendidikan alternatif, persekolahan di rumah juga akan mendapat Bantuan Operasional Penyelenggaraan (BOP) atau semacam bantuan operasional sekolah (BOS) di sekolah formal. Semua penyelenggara pendidikan alternatif memang berhak mendapat BOP.

Penutup

Mengapa Mereka Memilih Home schooling?

Homeschooling adalah alternatif pendidikan lain dari organisasi sekolah. Anak belajar dibawah pengawasan orang tuanya. Anak dan orang tua yang akan menentukan isi atau materi pelajaran mereka. Mereka pun memiliki kontrol penuh akan isi pelajarannya. Dan home school bukanlah memindahkan sekolah ke rumah. Kegiatan belajar mengajar agak berbeda dengan di sekolah. Orang tua pun tidak perlu selalu menjadi guru tetapi orang tua lebih berperan sebagai fasilitator. Tujuan pendidikan untuk anak adalah agar membuat anak love to learn, cinta belajar, bukan demi menciptakan anak jenius yang menguasai semua bahan yang diajarkan.

Dan Mengapa Mereka Homeschool? Inilah Jawabannya:

To take direct responsility & direct involvement for raising and educating my children. Adanya hubungan yang dekat dengan anak. Jika kita ingat betapa bahagianya melihat anak bisa duduk pertama kalinya, bayangkan jika kita bisa duduk bersama dan mengajarnya membaca sampai dia bisa menyelesaikan sendiri buku pertamanya? Mengapa kita biarkan orang asing mengambil itu dari kita?

Materi pelajaran. Orang tua lebih punya kontrol terhadap apa dan bagaimana satu materi dipelajari. Kurikulum disesuaikan dengan anak-anak, bukan one size fits all tapi tailor made. Di Amerika, untuk higher grade diwajibkan mempelajari Sex Education, salah satunya adalah dengan cara menonton video. Sementara kita tahu bahwa standar norma setiap orang berbeda dalam hal ini, apalagi untuk kita yang orang timur. Akankah kita biarkan orang asing mengajarkan anak kita tentang the bird, the bee and the bun in the oven?

Learning styles. Lebih bisa menyesuaikan gaya mengajar dengan cara belajar anak-anak. Setiap orang memiliki cara berbeda untuk menerima pelajaran. Dengan Home schooling kita bisa sesuaikan dengan gaya belajar anak-anak.

Flexibility. Home schooling memungkinkan keluarga melakukan perjalanan kapan saja dan berapa lama saja tanpa terikat dengan absensi atau ijin sekolah. Bahkan perjalanan pun dapat menjadi ajang belajar.

Agama. Dalam home school group, bukan hanya keluarga muslim saja, tetapi juga orang-orang Kristen, Yahudi, Hindu dan penganut agama lain yang tidak setuju dengan pendidikan sekular di Amerika. Salah satu contoh adalah teori inteligent design (bahwa alam semesta diciptakan Tuhan) dilarang diajarkan di sekolah. Dengan Home schooling waktu untuk mempelajari agama lebih leluasa.

Safety. Dengan Home schooling tidak perlu khawatir dengan bully di sekolah, antar jemput dan satu lagi; berdiri di pagi buta menunggu bus sekolah menjemput. Mereka bisa bangun kapan saja dan saya tidak perlu tergesa menyiapkan bekal sekolah. Kita tidak perlu bahas tentang school shooting atau kejahatan extreem lainnya disini.

Standards and goals. Menentukan standar dan tujuan belajar sesuai dengan kesepakatan keluarga dan tidak harus mengikuti standar dan tujuan yang ditetapkan oleh orang lain (state’s).

Ada banyak lagi alasan lain mengapa mereka melakukan Home schooling (HS), tapi dari semua itu alasan utamanya adalah karena mereka mencintai dan mereka ingin memberi yang terbaik untuk anak-anaknya.